KESETARAAN GENDER, RAS DAN PENDIDIKAN

KESETARAAN
A.    Gender, Etnis, Dan Latar Belakang Sosial Ekonomi
Pada bab 19 sebelumnya, kita telah membahas banyak hal tentang bagaimana sebuah proses pembelajaran memberikan hal-hal yang kurang menyenangkan dan beberapa cara untuk memastikan bahwa murid yang kita didik dapat sedikit melepaskan kenyamanan yang mereka nikmati dan beralih pada keadaan yang menyusahkan bagi mereka. Pada bab ini, kita akan membahas banyak hal mengenai demografi-tentang bagaimana perbedaan- perbedaan ketegorial yang berpengaruh pada kita sebagai pembelajar dan bagamana kita merancang lingkungan pendidikan yang kondusif, sehingga perbedaan – perbedaan  seperti jenis kelamin, etnis atau bahkan ras tidak berpengaruh negatif pada anak didik kita.
            Beberapa perbedaan antara para pembelajar biasanya murni bersifat individual. Itu semua turut berpartisipasi dalam terwujudnya perbedaan tersebut, misalnya dengan berpenampilan berbeda. Perbedaan- perbedaan lain bersifat kategorial seperti fitur-fitur demografis yang secara luas dapat menuntun pada keuntungan atau ketidakberuntungan sekelompok orang yang memiliki karakteristik tertentu. Berhubungan dengan perbedaan-perbedaan individual, pribadi kita berinteraksi dengan setiap lingkungan pendidikan dan kemampuan kita untuk memperoleh keuntungan  dari lingkungan tersebut. Karakter individu dapat sangat berpengaruh pada kesuksesan dalam sekolah maupun dalam kehidupan. Bebrapa orang yang berasal dari lingkungan-lingkungan sekolah yang kurang bonafit senyatanya mengajari diri mereka sendiri dengan mulia, sementara orang lain yang berasal dari sekolah yang cukup bonafit melakukan hal-hal yang menakjubkan atau bahkan hal yang sangat memalukan. Tentunya, kita menggunakan model ini sebagai upaya untuk menjangkau semua siswa dengan segala perbedaan yang mereka miliki. Cara yang kita gunakan adalah dengan memberikan perangkat pembelajaran yang akan sangat efektif pada kepribadian mereka.
Disini kita akan menguji perbedaan- perbedaan kategorial dan juga fokus pada perbedaan-perbedaan gender, status social ekonomi dan etnis sebab sekolah pada umumnya memunculkan beragam perbedaan yang cukup serius dalam pekembangan pendidikan berdasarkan  jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan siswa dengan latar belakang ekonomi, etnis dan social yang berbeda. Lalu kita akan mempertimbangkan fungsi model pembelajaran yang berbeda-beda untuk mengurangi ketidaksetaraan yang berhubungan dengan perbedaan karakter. Sebagai langkah awal, mari kita amati data umum tentang prestasi dan beberapa capaian di AS. Sebagian, meski tidak seluruhnya, focus kita akan diarahkan pada data yang menyoroti kategori-kategori demografis atau memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang aktivitas pendidikan.
1.      Penelitian Berskala Luas Mengenai Prestasi
a.      Data Tentang Perbedaan-Perbedaan Kategorial
Masyarakat selalu dan pasti berubah. Perubahan besar dengan berkembangnya isu gender di perguruan tinggi menjadi  pertanda perubahan- perubahan yang lebih besar muncul, tetapi jelas perbedaan gender bukanlah permasalahan yang mengkhawatirkan. Cobalah sejenak renungkan fakta yang membahagiakan pada tahun 1990, universitas AS memberi penghargaan pada 933 doktor dalam disiplin ilmu matematika, namun hanya 401 dari penghargaan tersebut yang diberika pada warga negara AS sendiri. Wanita memperoleh 87 penghargaan tersebut. Warga negera afrika amerika hanya menerima 4  penghargaan.
b.      Lulusan Sekolah Tinggi
Informai tentang rating kelulusan cukup mampu memberikan suplai terhadap efektivitas pendidikan secara umum dalam kategori yang berbeda. Inilah bebrapa informasi  yang berasal dari laporan salah satu negeri terluas di AS.
c.       Jumlah Pendaftaran, 1996-1997
Kelas  9           : 193,000
Kelas 10          : 161,000
Kelas 11          : 128,000
Kelas 12          : 105,000
Jumlah siswa yang lulus lebih  sedikit dari separuh jumlah pendaftaran  kelas 9. Jumlah siswa menurun dari tahun ke tahun. Ketika gambaran tersebut diruntuhkan oleh isu etnisitas, muncul suatu perbedaan kecil di antara para siswa yang berasal dari kulit putih Afrika-Amerika, dan bangsa Spanyol. Lebih dari separuh siswa tidak bisa lulus tepat waktu. Diruntuhkan oleh isu gender, sekitar 55 persen siswa wanita bisa lulus tepat waktu sedangkan jumlah siswa pria yang tepat waktu hanyalah 43 persen. (Departemen Pendidikan Florida, 1998).
Selain itu, kita dapat bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Dalam skala nasional beberapa lulusan sekolah tinggi tahun-tahun belakangan ini telah mendekati setidaknya angka  70 persen dari siswa yang berumur 17 tahun dan jumlah siswa wanita yang lulus melebihih jumlah kelulusan siswa pria dalam jangka waktu beberapa tahun. Perbedaan gender pelan namun pasti kemudian lebih dan semakin meluas.
d.      Melek huruf
Tentu saja, misi utama sekolah dasar adalah pengajaran membaca. Buktinya kita bisa melihat rating ekfektivitas pengajaran sekolah kita dari aspek membaca secara umum. Hal yang juga penting untuk diperhitungkan adalah tingkat kompetensi membaca untuk kelas 1, 2, 3 dan 5, sebab kelas 1 adalah momen dimana usaha yang  nyata mulai dilakukan, kelas 3 merupakan tanda ditutupnya momen pertama dimana melek huruf menjadi minat dasar sedangkan kurikulum lain tidak banyak menaruh  perhatian pada masa ini. Sedangkan kelas 5 adalah momen dimana sekolah dasar secara umum telah berakhir dan tingkatan  membaca dan menulis harus dijangkau untuk memungkinkan siswa melanjutkan pendidikan lanjutan/menengah.
Ada data terpecaya yang menunjukan bahwa sekitar dua pertiga siswa yang keluar dari kelas 1 sudah mampu membaca buku-buku gambar/prosa informative dan naratif serta buku-buku yang tergolong rumit. Mereka juga memiliki perangkat yang dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi yang dimiliki tanpa harus merasa stress dengan instruksi- instruksi yang harus mereka jalani pada kelas 2 dan  3,  hampir semua siswa mengalami tingkat kemajuan yang cukup baik secara bertahap. Keluar kelas 3  sudah mampu membaca dengan benar, dan lulus SD sudah mampu membaca tugas-tugas materi pembelajaran di SMP dan SMA. Namun, ada cerita yang berbeda, sangat sedikit diantara mereka yang bsa pulih dan belajar dari kegagalan yang diperbuat dan di kebanyakan sekolah dasar, ada sekitar 20 hingga 25 persen siswa sudah lulus namun hanya dapat membaca tak ubahnya dengan kemampuan membaca siswa tahun ketiga atau tahun dibawahnya. Siswa-siswa jenis ini adalah kebanyakan mereka yang sering mendapat ancaman drop out atau kemungkinan besar tidak lulus tepat waktu. Walaupun ada banyak wanita yang menemui kesulitan dan masalah dalam membaca, sekitar sepertiga pembaca yang “kesulitan” tersebut terdiri dari kaum pria. Beberapa sekolah menengah pertama atau menengah atas memiliki staf khusus yang mengajar “para pembaca pemula yang  terlalu tua”. (Materi yang diajarkan pada pembaca ini adalah isu yang akan lebih detail dijelaskan dalam bagian selanjutnya). Kita akan mengajukan pertanyaan mengenai pengembangan kurikulum model-model berganda dan multidimensional di kelas–kelas sekolah dasar.
Gender, status sosial ekonomi, dan etnis semuanya terlibat dalam masalah melek huruf ini. Cobalah amati beberapa informasi dari penilaian kemajuan pendidikan nasional yang berhasil mencapai kesuksesan dalam membaca, menulis dan kurikulum inti lain. Dalam dua decade terakhir, Departemen Pendidikan di AS telah mencoba menangani masalah pencapaian prestasi siswa dengan memberkan  ujian-ujian yang berkaitan erat dengan kurikulum inti, mengambil beberapa sampel siswa dari lima puluh  negara yang berbeda,  menganalisis data, mengembangkan laporan yang menyediakan database luas yang dapat membantu kita memahami di mana posisi kita dan bagaimana caranya agar kita bisa berkembang lebih cepat dan lebih baik. Kita akan melihat sedikit penemuan yang berhasil mereka capai terkait dengan isu-isu gender, status social ekonomi, dan etnis.
Sekarang mari kita membahas model induktif kata bergambar (PWIM-Picture World Inductive Model) dan merencanakan sebuah rangkaian pelajaran yang memakai kerangka pikir Gagne. Perhatikan scenario dibawah ini:
Skenario
Siswa-siswa bimbingan yang berusia 5 tahun di sekolah Hempshill Hall Primary, tengah mempelajari kosakata dalam bacaan. Mereka juga memulai pelajaran dengan mempelajari fonik, menganalisis struktur ejaan kata yang mereka dengar ketika mengucapkannya dan membaca kosakata.
Siswa pun mempelajari gambar. Tidak lama kemudian, Judith mempersilahkan mereka mengatakan apa yang mereka ingin katakana di dalam kelas, hampir semua mengangkat tangan namun Judith menunjuk Jessica.
Jessica menunjuk gambar dan mengatakan “Inilah Ladder” Judith menggambar garis kearah bawah dan menulis kata ladder dan kembali mengucapkan  kata tersebut “ladder” ucapnya lagi. Dan murid-murid yang lain memperhatikan dan mendengarkannya.
“Ok, sekarang saya akan  mengejanya lagi dan kalian semua mengikuti setelah saya” Judith kembali melakukannya dan meminta siswa lain mengajukan kata yang berbeda.
“Sit” ucap Bryan dan menunjuk pada teddy Bear “Teddy Bear is sitting”

Respons Spesifik
Judith menulis kata “bear” dari kata “the bear’s sitting” dia mengeja masing-masing kata saat menulisnya dan memberikan  giliran serta kesempatan pada siswa untuk mengucapkan, mengeja, dan mengulangi ejaan kata tersebut di depannya. Dia langsung menunjuk pada kata pertama. “Apakah kata ini?”
            “ladder” murid berteriak
“Dan  jika kalian melihat kata tersebut namun tidak bisa mengingatnya, apa yang akan kamu lakukan?”
“Mengikuti garis pada gambar yang ditunjuk oleh kata ladder” jawab siswa
“Benar. Dan apakah kata ini?” Judith menunjuk kata the
The bear’s sitting
“Siapa yang sepakat dengan ucapaannya?

Mata Rantai
Menjelang akhir sesi pelajaran, daftar kata dibawah ini dikumpulkan dan siswa bisa mengucapkan masing-masing kata yang ditunjuk oleh Judith. Judith menyudahi sesi dengan meminta siswa memerhatikan kata tertentu dalam buku  yang akan mereka bawa pulang ke rumah dan membacakannya pada orang tua mereka. Saat mereka keluar kelas, seorang anak yang lebih tua dan telah merekam kata-kata tersebut dalam sebuah computer menyimpan file dan memindahkannya dalam disket.
Pada hari berikutnya saat siswa memasuki ruang kelas, beberapa diantara mereka segera menghampiri kata dan melihat- melihat gambar, saling mengucapkan masing-masing kata dan memberikan garis yang diarahkan kepada gambar untuk kata yang tidak mereka ingat. Lagi-lagi mereka duduk di depan poster dan Judith meminta mereka membaca kata-kata yang ada, menggunakan gambar untuk membantu mereka menemukan referen masing-masing kata.

Diskriminasi Ganda
Judith baru saja selesai mengambil file kata-kata yang dihubungkan dengan gambar, menulisnya dengan font besar,  mencetaknya dan membuat satu unit kata. Dia memberikan satu unit pada masing-masing siswa kemudian dia meminta siswa membaca seperangkat kata yang ada di tangan mereka, dan jika siswa tidak bisa mengingat kata yang dimaksud maka mereka harus menghampiri poster menemukan  kata dan mencari gambar yang merepresentasikan kata tersebut.
Ada beberapa aktivitas yang berlangsung. Siswa melihat kata, mengucapkannya, bahkan berteriak sendiri. Kadang-kadang, mereka bertanya pada Judith, apakah mereka benar, dan Judith pun mengarahkan mereka pada gambar untuk bisa memahami kata dengan sendirinya. Segan, siswa bangkit dan turun, menggenggam kartu kata dan meletakkan kata tersebut dalam diagram.

Menjelaskan Diskriminasi Ganda
Judith kemudian menanyakan kalimat yang mengilustrasikan gambar secara keseluruhan dan mengucapkan kalimat tersebut dan mengucapkan kalimat “Teddy bear tengah duduk di pinggiran kita” dan “ada banyak apel di tempat itu” seorang anak mengajukan pertanyaan, menunjuk bagian apel tersebut dan bertanya “mengapa anda mengatakan memakan apel?” “bisakah teddy duduk diatas apel?” Judith mencatat kalimat tersebut dan semua siswa mengulang kalimat itu sebelum menutup pelajaran.

Klasifikasi
Pada pagi berikutnya, Judith mereview kembali diagram poster beserta siswa-siswanya, kemudian dia meminta siswa untuk mengeluarkan kata dan meletakkan kata-kata terebut yang sesuai dengan bagaimana cara mengejanya.
Inilah beberapa kategori yang mereka munculkan.
Jessica mulai berbicara: “tree, trees dan ladder memiliki dua huruf yang sama”
“Bagus! Bisakah kamu menunjukan huruf-huruf itu? Jessica melakukannya. ”Apa ada yang bisa melakukan hal yang sama dengan Jessica dan dengan alasan yang serupa? apakah Nancy bisa?”
“Saya meletakkan kata apple dan teddy bersama karena ada yang pertama memiliki dua huruf p dan huruf d”
Brian menambahkan “saya menempatkan teddy dan ladder secara bersama-sama sebab mereka memiliki dua huruf d di bagian tengah”
“Coba perhatikan apple dan apples” kata Judith, “bagaimana keduanya bisa sama dan bisa berbeda?” ada beberapa siswa yang mengacungkan tangan namun Judith menunjuk Dylan.
“keduanya dieja sama selain pada s” Apple hanyalah sebuah apel. Sedangkan apples adalah dua apel”

Penggunaan Aturan
Judith bertanya “mengapa kata tree dan trunk bisa diletakkan bersama-sama?”. Siswa-siswa bingung dalam beberapa menit, dan kemudian mulai ada yang mengacungkan tangan. Judith menunggu hingga hampir semua siswa memiliki gagasan, kemudian menunjuk Brendan “Barangkali karena tree dan trunk terdengar sama di permulaan ucapan.” Mereka mendiskusikan jawaban Brenda kemudian Judith menulis “bunyi yang sama”
Pada akhirnya, siswa membaca seperangkat kata pada diagram secara berulang-ulang dan mengakhiri pelajaran hari tersebut. Mereka juga diminta untuk melacak kata dalam bacaan mereka pada saat malam hari.

Pemecahan Masalah
Judith menggunakan strategi yang disebut model induktif kata bergambar (Bab 7). Strategi ini adalah model untuk memunculkan kata dari apa yang didengar siswa dan kosakata yang diucapkan sehingga kata-kata tersebut bisa dipelajari dan dikuasai dan melalui klasifikasi, kata-kata tersebut kemudian bisa menjadi dasar dari proses eksplorasi mengenai fonik. Akhirnya, pemecahan masalah dalam  identifikasi kata dan pengembangan kosakata adalah masalah siswa yang bisa dibantu penyelesaiannya oleh guru sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Bab 20*
e.       Membaca
Gambaran umum yang diperoleh 25 tahun lalu berbeda dengan gambaran yang dipaparkan media – bahwa melek huruf sudah rusak dan tidak bisa diharapkan lagi di kalangan generasi muda, faktanya, dalam catatan antara 1971 hingga 1996 tetap datar-datar saja. Skor yang diperoleh NAEP (National assessment of Educational Progress)  telah berubah drastic pada siswa yang berumur 9, 13, dan 17 tahun.
Berita buruknya adalah bahwa masyarakat dan system pendidikan selama 25 tahun yang sama, sudah mencoba mengembangkan inisiatif untuk meningkatkan angka melek huruf, namun indikasi prestasi dari penelitan yang dilakukan NAEP belum menunjukkan adanya suatu perkembangan. (Di satu sisi, ada kurikulum yang digabungkan dengan beberapa model pengajaran dan  menghasilkan perubahan luar biasa pada aspek melek huruf, sehingga kita bisa optimis, seperti yang akan kita lihat nanti pada pengujian rata-rata pembaca pemula, (di bagian selanjutnya dalam bab ini).
Senyatanya, salah satu tujuan utama buku ini adalah menjadi buku yang bisa dipergunakan oleh calon guru dan memberikan pengetahuan mengenai beberapa model pengajaran. Dalam beberapa hal, buku ini dimaksudkan untuk membuat kurikulum yang akan memberikan perubahan dalam dunia pendidikan yang berwujud peningkatan kapasitas siswa dalam belajar.
Tim NAEP telah berusaha mengembangkan level kompetensi siswa kelas 4, 8 dan 12. Laporan mereka pada 1996 (Campbell, Donahuen Reesem dan Philips, 1996) menyajikan penilaian-penilaian ini berdasarkan gender (lihat table 20.1). Kategori–kategori kompetensi merupakan penilaian –penilaian kasar mengenai apakah siswa mampu mengajari diri mereka sendiri untuk belajar membaca (mahir dan terampil), apakah mereka dapat merespons dengan baik tugas – tugas membaca dasar atau apakah mereka akan punya kesulitan dengan jenis-jenis membaca secara umum yang digunakan dalam bidang – bidang kurikulum pada umur dan tingkat kelas tertentu (Di bawah dasar). Dalam menginterpretasi data ini, ingatlah bahwa jumlah siswa kelas dua belas adalah lebih kecil dibanding jumlah dari kelas lain.
Gambaran-gambaran  ini baiknya diinterpretasikan berdasarkan tujuan-tujuan masa depan. Kita pastinya menginginkan semua siswa kita tanpa terkecuali berada dalam level mahir (advance) atau paling tidak dalam level cukup (proficient). Kita pun tahu bahwa hal itu sangat mungkin diwujudkan. Kita memiliki cara, bahkan penelitian mengenai kurikulum dan pengajaran menunjukan dengan jelas bahwa kita bisa berpindah level dengan cepat jika kita mengabdikan diri untuk mencapai tujuan tersebut serta memanfaatkan segala perangkat dalam mengajari siswa di level-level yang luar biasa. 
Kelas               Mahir               Terampil                      Dasar                             Di Bawah Dasar
4 Pria                   4                              22                                54                                46
Wanita                 6                              28                                64                                36
                                   
8 Pria                  1                               1                                  63                                37
Wanita                3                               3                                  75                                25

12 Pria                2                               2                                  70                                30
Wanita                4                               4                                  80                                20

­­­­­­­­­­­­           
Tabel 20.1 Persentase Tingkat Kemahiran membaca menurut kelas dan gender (Campbell, Donahuen Reesem dan Philips, 1996)
Catatan dari tabel tersebut menunjukan bahwa gender merupakan salah satu factor yang menentukan berapa siswa yang gagal untuk bisa lulus dan melanjutkan ke jenjang yang lebih. Semuanya hanya akan terjadi jika kita tidak bisa mengajar dengan lebih baik. Di tengah-tengah kita, ada banyak guru yang sudah berhasil menjangkau semua siswanya. Kita semua harus bisa menjangkau tingkat kemahiran mereka.
Selain itu, kita harus bisa mengajar dengan sangat baik, dengan mengacukan status social ekonomi siswa dalam proses pembelajaran. Di bawah ini juga merupakan gambaran dari laporan NAEP. Semua kelas ternyata sama. Untuk lebih jelas dan singkat, mari kita lihat kelas ke delapan. Data ini merupakan skor rata-rata dalam uji coba NAEP berdasarkan tingkat pendidikan orang tua, yang berkaitan erat dengan pendapatan keluarga.                                                         
Siswa-siswa yang satu atau semua orang tuanya lulus dari universitas
270 siswa
Siswa-siswa yang satu atau semua orang tuanya        pernah kuliah setelah lulus SMA (meski tak lulus)
266 siswa
Siswa-siswa yang orang tuanya tidak lulus SMA      
238 siswa
Siswa-siswa yang satu atau semua orang  tuanya lulus SMA
241 siswa
Rata – rata gender dari tes terebut adalah                                                     
Pria                  252 siswa
Wanita             267 siswa

Ada perbedaan gender dalam setiap level pendidikan orang tua, tantanganya  bagi kita tentunya menciptakan sekolah yang kurikulum dan pengajarannya memberikan kesempatan yang merata pada semua siswa, sehingga perbedaan-perbedaan ini dapat diminimalisir, bahkan bisa ditiadakan sama sekali.
Perbedaan etnis dan ras, biasanya – meski tidak seluruhnya – terkait dengan level ekonomi, yang juga berkaitan dengan pendidikan orang tua siswa. Lihatlah data yang telah dipilih berikut, dengan menggunakan skor rata-rata yang sama, juga di kelas delapan:
Asia                             :  273 siswa
Kulit Putih                  :  268 siswa
Bangsa Spanyol          :  240 siswa
Kulit Hitam                 :  237 siswa

Ada perbedaan yang cukup serius dalam data di atas. Rata-rata siswa Spanyol yang berkulit hitam adalah 30 persen dari distribusi orang Asia dan kulit putih.
Penelitian yang cukup serius mengenai orang miskin yang bermukim di wilayah perkotaan meningkatkan permasalahan tertentu mengenai sekolah di wilayah itu yang juga diperburuk dengan masalah perekrutan guru yang akan bekerja disekolah-sekolah tersebut. Pada intinya, jika siswa tumbuh dalam lingkungan bertetangga yang terdiri dari masyarakat dengan pendidikan yang rendah dan hanya ada sedikit orang yang berpendidikan tinggi, maka sekolah harus bisa mengimbangi keadaan dan latar belakang siswa. Sekolah seharusnya memahami bahwa siswa tersebut berasal dari kultur kemiskinan yang cenderung  disudutkan secara minoritas. Keadaan umum negara kita menunjukan bahwa ada sepertiga populasi di antara masyarakat kita yang dianggap sebagai minoritas, dan seperempat di antara anak-anak yang ada di negara ini tumbuh di bawah garis kemiskinan.
Perbedaan-perbedaan ini terjadi di semua daerah dan negara. Negara-negara umumnya membedakan status social, ekonomi, dan etnis (di Caliornia, siswa yang tergolong sebagai minoritas lebih banyak dibandingkan siswa yang dikategorikan sebagai mayoritas). Perbedaan-perbedaan ini tercermin dari gambaran penilaian untuk negara-negara tersebut.
f.       Menulis
Penelitian NAEP mengenai pencapaian dalam hal menulis sejajar dengan penelitian mengenai pencapaian dalam  hal membaca, namun dua penelitian tersebut memberikan informasi yang cukup menarik (Appleebe, dkk, 1990). Kompetensi dalam membaca memang dibutuhkan untuk bisa memiliki kompetensi dalam menulis walaupun kompetensi dalam membaca tidaklah menjamin kompetensi dalam menulis.
Gambaran mengenai gender juga menunjukkan bahwa siswa wanita melebihi prestasi siswa pria secara substansial (skor rata-rata untuk pria berkisar 35 % dari skor prestasi siswa wanita pada kelas 4) dan perbedaan  gender semakin melebar pada kelas 8 dan 12. Skor rata-rata siswa wanita pada kelas 8  adalah diatas skor rata-rata siswa pria pada kelas 12.
Untuk dua jenis kelamin ini, perkembangan kompetensi menulis agaknya sama-sama pelan. Skor rata-rata pada kelas 8 hanya 62% dari distribusi kelas 4. Etnis, dalam hal ini juga memainkan peran, meskipun tidak terlalu berpengaruh. Perbedaan antara siswa yang orang tuanya lulus dari perguruan tinggi dan siswa yang orang tuanya tidak tamat SMA kurang lebih sama sebagaimana perbedaan dalam hal gender.
Namun, keadaan ini tidaklah selalu terjadi. Kurikulum dan pengajaran yang lebih baik akan berpotensi meniadakan perbedaan gender dan menghilangkan kesenjangan dalam latar belakang social dan ekonomi.
Menghilangkan perbedaan bukanlah satu-satunya tujuan kita dalam bahasan kali ini. Penginkatan prestasi yang merata bagi semua siswa juga merupakan tujuan paling utama. Data dari Colorado menggambarkan poin berikut. Pada 1997, 32 % siswa wanita kelas 4 rata-rata dinilai “kurang memuaskan’ dalam hal menulis dibandingkan dengan pria yang berjumlah sekitar 50 persen. Perbandingan bagi orang kulit putih adalah 41 %, 50 % bagi orang Amerika-Afrika, dan 43 % untuk orang Spanyol. Semua kategori tersebut memunculkan permasalah yang cukup serius. Yang mengindikasikan kebutuhan penting akan perbaikan sekolah di semua kategori siswa.
g.      Kajian-Kajian Sosial
NAEP memusatkan perhatian dalam penelitiannya pada mata pelajaran sejarah dan geografi, dan hasil yang mereka dapatkan dari dua bidang tersebut sama. Disini, kita akan memusatkan perhatian pada bidang geografi. (Persky, Reese, O’Sullivan,Lazer, Moore dan Shakran, 1990) sebab beberapa informasi tambahan dalam kajian geografi bersinggungan dengan permasalahan gender.
Skor total populasi secara keseluruhan pada kelas 4, 8 dan 12 sangatlah dekat satu sama lain, namun lebih tinggi skor yang dimiliki siswa laki-laki (4 point pada kelas 8 dengan jenis skala yang sama yang telah kami uji terlebih dahulu dalam hal keterampilan menulis dan membaca). Perbedaan tersebut sangatlah menarik sebab kemampuan membaca yang baik sangat berpotensi memberikan kemudahan dalam semua mata pelajaran yang diujikan. Sebab itulah, perbedaan yang sebenarnya dalam hal prestasi senyatanya lebih jauh dibanding skor yang mengindikasikan hal tersebut. Skor untuk orang Spanyol sama secara gender, meskipun siswa laki-laki kulit putih dan Afrika Amerika mendapatkan skor yang lebih baik. Perbedaan siswa dalam level atas dan level bawah menurut pendidikan orang tua berkisar pada poin 20 di setiap kelas. Rata-rata skor milik orang Amerika lebih rendah 40 % dibanding rata-rata siswa kulit putih dan 10 poin lebih rendah dibandingkan siswa Spanyol. Perbedaan ini jauh lebih lebar dibanding apa yang ditunjukan dalam status sosial dan ekonomi, dan kita pun harus mempertimbangkan hal ini saat ingin merencanakan untuk menciptakan kesetaraan.
h.      Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Kami akan memulai penjelasan dalam dua bidang ini dengan gambaran dari penilaian nasional, namun kami harus memeriksanya kembali, sebagaimana kami menguji beberapa isu gender. Skor rata-rata NAEP dalam bidang matematika yang muncul dalam kurung waktu 1990 hingga 1996 (Reese, Miller, Mazzeo dan Dossey, 1997) menunjukan bahwa perbedaan gender tidak lagi menjadi masalah serius, sebab rata-rata prestasi siswa laki-laki seringkali lebih tinggi dari prestasi yang dicapai siswa wanita). Perbedaan latar belakang social dan ekonomi hingga hari ini masih menjadi hal yang masih diperhitungkan, dengan perbedaan sekitar 28 poin antara level tertinggi dan level terendah menurut pendidikan orang tua dan 32 poin pada kelas 12. Rata-rata siswa yang berkulit putih pada kelas keempat memiliki 32 poin lebih tinggi dibanding siswa kelas 4 di Afrika dan Amerika, serta 26 poin lebih tinggi dari siswa Spanyol. Perbedaan etnis terus berlanjut dan meluas pada tingkat kelas yang lebih tinggi.
Pada tahun 1996, penilaian dalam bidang studi sains menunjukan bahwa perbedaan gender adalah hal yang tidak penting, dengan nilai tertinggi skor skala 4 pada kelas 12. Perbedaan social ekonomi yang juga mengindikasikan tingkat pendidikan orang tua juga demikian nilai skor pada kelas 4, 23, pada kelas 8, 29, dan 26 pada kelas 12. Sekali lagi, skor siswa Asia dan kulit putih jauh lebih tinggi disbanding sswa Afrika, Amerika dan Spanyol.
Etnis juga merupakan factor yang mempengaruhi kesempatan memperoleh pendidikan. Walaupun ada beberapa perbedaan etnis maupun rasial yang harus dijangkau (Cooper dan Dorr, 1995), namun kesetaraan dalam kesempatan untuk belajar/memperoleh pendidikan bisa memunculkan beberapa hambatan. Davenport, Davison, Kuang, Dim, dan Kwak (1998) menguji siswa yang mendaftar dan memiliki prestasi di atas rata-rata pada sekolah-sekolah besar di distrik. Pendaftaran siswa pada jurusan Matematika didominasi oleh 100 % orang. Asia, 87,5 % orang kulit putih, dan 51 % orang Afrika dan Amerika, serta 42 % orang Spanyol – dan inilah persentase siswa yang berprestasi tinggi. Konseling, tentu saja, bisa dan harus bisa meluruskan ketimpangan ini.
i.        Interpretasi Dan Informasi Tambahan
Data diatas jelas menunjukkan bahwa dalam suatu negara, kita tidak bisa benar-benar menjangkau kesetaraan. Masih sangat jauh untuk mengidealkan hal yang demikian. Beberapa orang beranggapan bahwa cita-cita untuk menciptakan keadaan yang sarat dengan nilai-nilai persamaan dan kesetaraan adalah hal yang tidak mungkin. Ya, kita akan membahas gagasan tersebut. Namun sebelumnya, kita harus percaya bahwa kesetaraan secara utuh atau dalam level yang hampir mencapai hal tersebut sebenarnya bisa kita wujudkan.
Marilah kita amati beberapa kategori dan menyelidiki permasalahan ini lebih dalam.
1.      Status Sosial Ekonomi
Data yang telah kami paparkan sebelumnya membenarkan apa yang terjadi pada beberapa decade lalu bahwa perbedaan social dan ekonomi merupakan predictor kesuksesan di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Sebuah penelitian popular mengenai prestasi pendidikan (oleh Coleman, Campbell, Hobson, Mc Partland, Mood, Weinfield dan York, 1996 menyimpulkan bahwa pendidikan dan mata pencaharian orangtua sangatlah mempengaruhi  prestasi akademik. Penilitan ini juga menyimpukan bahwa perbedaan kualitas sekolah tidaklah terlalu berpengaruh juga dibandingkan dengan pendidikan dan  mata pencaharian orang tua. Dengan kata lain, mereka berpendapat bahwa prestasi pada masing-masing sekolah sangat mudah diperkirakan, yakni hanya dengan melihat karakteristik orang tua, sehingga sekolah yang memiliki prestasi rendah maupun tinggi tidaklah ditentukan dari kualitas dan kondisi sekolah tersebut. Malahan, saat anak didik berubah, maka prestasi pun akan berubah.
Walaupun Tim Coleman mengukuhkan hasil penelitian mereka – ada beberapa sekolah yang berhasil membuat suatu perbedaan (Brookover, Schwtezer, Schneider, Beady, Flood, dan Wisenbaker, 1978) – tidak ada pertanyaan dan masalah bahwa perbedaan-perbedaan sosial ekonomi berpengaruh pada respons terhadap pendidikan. Selan itu, program Chapter I yang besar-besaran dibuat pemerintah federal untuk memberikan sumber daya yang memadai bagi sekolah – sekolah daerah dan mengembangkan pendidikan masyarakat miskin ternyata gagal dengan menyedihkan. Dua penulis buku ini merupakan anggota sebuah tim yang meneliti keberadaan sekolah di distrik-distrik urban. Kami menemukan bahwa sekitar 70% siswa dalam distrik tersebut telah menerima dana dari Chapter I. Siswa yang telah memperoleh dana bantuan pada kelas satu tetap menapatkan dana tersebut hingga kelas dua belas, sebab kekurangberuntungan mereka dalam pendidikan belumlah “ditanggulangi” dengan baik.
Salah satu permasalahan serius yang menghambat kelancaran beberapa program Chapter I yang diarahkan pada siswa-siswa miskin adalah bahwa kondisi lemahnya prestasi yang dialami siswa miskin sudah ada sejak lama, atau bahkan terlalu lama, sehingga mereka secara interen seringkali di stereotipekan sebagai pembelajar yang buruk (miskin harta dan miskin prestasi). Bahkan, mereka sendiri pun cederung memberi label kepada dirinya sendiri dan meningkatkan sindrom kecacatan atau kekurangan yang ada dalam dirinya, biasanya mereka akan menyerah sebelum bertanding (Urdan, Midglev, dan Anderman, 1998). Pelabelan ini tidak hanya dipengaruhi publik secara umum, namun juga para pendidik. Penelitian mengenai pengajaran dalam program-program Chapter I menunjukan bahwa dalam beberapa program tersebut, kurikulum berjalan dengan diperlambat, dipermudah, dan dibuat sesederhana mungkin, dari pada menggunakan strategi- strategi pengajaran yang menantang. Lebih parahnya lagi, kurikulum yang dirancang sangat sulit untuk dimanfaatkan oleh siswa. Sebaliknya, dalam ilmu kedokteran – kurikulum yang ketat dengan strategi pengajaran yang menantang dapat meningkatkan kapasitas pembalajaran siswa. Program-program dalam pendidikan khusus bagi siswa yang memiliki kemampuan minmal juga menghadapi masalah serupa. Stereotype ‘LD’ menyeret kekayaan kurikulum dan instruksi untuk mereka yang membutuhkan lingkungan yang berlimpah dengan kesempatan-kesempatan untuk tumbuh dan belajar dengan memanfaatkan perangkat-perangkat pembelajaran.
Namun, ada program-program pengembangan sekolah yang menggunakan model pengajaran ampuh dan telah mampu menaikkan prestasi siswa yang berkemampuan rendah. Program ini berhasil melakukan hal tersebut dalam waktu yang cukup singkat, yakni dua tahun. (Becker dan Gerstenm 1982, Joyce, Murphy dkk, 1989’ Levin dan Levin, 1990; Slavin, Madden, Karweit, Livermon dan Dolan, 1990; Wallace, Lemahieu, dan Bickel, 1990). Untuk mendapatkan gambaran umum. Anda bisa merujuk pada Joyce dan Calhoun, 1995, 1996). Lagi-lagi, pengajaran yang baik menunjukan fungsinya sebagai solusi atas permasalahan dalam proses pembelajaran. Hal yang demikian merupakan sebuah keniscayaan, sebab kegagalan dalam belajar dapat menyisakan citra buruk seseorang sebagai “orang yang tidak bisa”. Citra tersebut akan tetap bertahan dalam jangka waktu yang lama, dan hal ini akan menyebabkan orang yang memiliki citra tersebut menjauhi segala kesempatan pembelajaran yang ada dihadapannya maupun tantangan untuk menjadi dewasa.
Hal ini berarti ia menciptakan ‘kuburan’ dan lingkaran kemiskinan dalam hidupnya sendiri. Serangkaian kajian yang dilakukan oleh Cohen (1995, 1998) dan beberapa rekannya telah menunjukan bahwa mengembangkan keseteraan adalah hal yang sangat mungkin dilakukan. Mereka juga beranggapan bahwa sekolah sangatlah berpengaruh terhadap interaksi yang menimbulkan citra diri lebih baik dan prestasi bagi seluruh siswa secara merata. Walaupun program berorientasi pada anak-anak kecil pada masa awal tidak begitu sukses sperti yang diharapkan, namun ada beberapa sampel program yang dapat membuat perbedaan (lihat, misalanya, Campbell dan Ramey, 1995). Bagaimana mereka melakukannya akan kami bahas berkaitan dengan penelitian mengenai model-model pelajaran  tertentu. Sayangnya, sangat sedikit sekolah di daerah-daerah yang mempersiapkan para pendidiknya untuk menggunakan kurikulum dan strategi pengajaran yang memberikan kesempatan yang sama bagi siswa-siswa miskin dan kita harus menyelesaikan masalah tersebut. Selain itu, sekolah pun harus bisa menuntun masyarakat. Buku-buku yang cukup absurd semisal The Bell Curve (Herrnstein dan Murray, 1994) yang berpandangan bahwa orang miskin seringkali merasa inferior d hadapan orang kaya, mengindikasikan bahwa sekolah memiliki potensi yang sama seperti anak-anak kaya, namun sekolah tidak pernah belajar menggunakan perangkat yang bisa menjangkau anak miskin tersebut, walaupun sebenarnya perangkat dan sarana kearah tersebut sudah ada. Hanya tidak digunakan. Tulisan editorial di New York Times memaparkan sedikit hal tentang The Bell Curve dengan kalimat “tumbuhan yang ditanam dalam kondisi yang tidak ideal masih akan mengalami pertumbuhan dan ketinggian yang berbeda. Namun, membenamkan separuh badan tanaman di lemari yang gelap akan mematikan tanaman tersebut, sebab keadaannya ditentukan oleh lingkungan” (Editorial, 1994:16)
2.      Etnis, Budaya, dan Ras
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Departemen Pendidikan sering mencampur-adukan wana kulit, etnis, dan kategori lain dalam sebuah institusi hingga orang-orang dari latar belakang yang berbeda bertemu dalam satu tempat dan satu waktu (misalnya Latn, China, Jepang yang sama-sama berasal dari Asia). Oleh karena itu, kita harus hati-hati saat kita sudah bisa menjangkau generalisasi tersebut. Pada waktu yang sama, data prestasi yang telah kita diskusikan menggarisbawahi peran penting yang dimainkan etnis dalam bentuk respons-respons terhadap system pendidikan secara umum.
Sekolah – sekolah Amerika merasa lebih nyaman dengan anak-anak yang datang dari mainstream kebudayaan yang sudah ada, sebab ‘mainstream’ rakyat Amerika selalu merasa lebih nyaman dengan orang yang memiliki latar belakang yang sama (hampir semua masyarakat dunia mencatat adanya banyak perselisihan antar suku dan negara.
Selama periode imigrasi besar-besaran dari eropa menuju Amerika, ada perselisihan yang cukup besar antara mereka yang sedang menetap di Amerika dengan mereka yang baru datang, walaupun negara Eropa memiliki elemen-elemen kebudayaan yang beragam. Perbedaan bahasa tidak bisa ditolerir di sekolah-sekolah abad XIX ataupun abad XX. Semboyan “pelajarilah bahasa inggris dengan cepat atau gagal” merupakan sebuah kebijakan (anehnya pendatang yang mendiami perumahan diperlakukan sedikit lebih baik. Pada tahun 1990, siswa yang mendaftar sekolah rata-rata berusia 7  tahun. Separuh dari siswa yang mendaftar belum berumur 7 tahun.
Di Amerika, anak-anak Eropa dikumpulkan bersama etnis ghettos sehingga mereka bisa lancar berbahasa Inggris dan bisa memasuki jenjang pendidikan ekonomi. Sekolah memberikan bantuan pada mereka sehingga siswa bisa mendapat pelajaran Bahasa Inggris dengan baik. Namun, sekolah ternyata masih bersikap kejam, banyak anak kecil yang menjalani hidup mereka sebagaimana orang dewasa saat ini, malu dengan tempat asal mereka yang telah memberikan kehidupan, cinta, dan asas kebudayaan yang banyak memberikan makna social pada mereka.
Ok, sejenak kita meninggalkan Afrika dan Amerika sebelum 1950, mayoritas imigran berasal dari Eropa. Meski dalam jumlah yang kecil, imigran juga datang dari China dan Jepang, dan banyak di antara mereka yang diekspor untuk menjadi pekerja berat, semisal membuat jalan di Barat. Sedikit sekali anak-anak dari pekerja berat ini yang memperoleh akses pendidikan saat mereka sampai di Amerika. D. Cohen (1969) membuat analisis data New York City dimana dia membandingkan prestasi siswa imigran dengan prestasi rata-rata siswa pribumi. Pertanyaan yang dia ajukan adalah “Apa saja yang dilakukan siswa imigran pada tahun pertama mereka masuk sekolah di Amerika Serikat” Inilah beberapa hasil penelitiannya, berdasarkan ukuran rata-rata:
·         Imigran dari British, yang telah mampu berbahasa Inggris dan berasal dari masyarakat yang kulturnya hampir sama dengan masyarakat Amerika, memiliki prestasi yang sedikit lebih rendah di bawah siswa yang berasal dari populasi Amerika asli,
·         Imigran Irlandia, yang juga bisa berbahasa Inggris, memiliki prestasi yang jauh lebih rendah dibawah masyarakat pribumi,
·         Rata-rata siswa Skandinavia memiliki prestasi yang lumayan lebih tinggi daripada siswa imigran lain,
·         Rata-rata prestasi siswa imigran Italia sama dengan level prestasi siswa-siswa Irlandia,
·         Rata-rata prestasi siswa imigran Jerman benar-benar bisa mengungguli prestasi populasi Amerika sendiri,
·         Rata-rata prestasi siswa imigran Yahudi/Israel memiliki prestasi yang cukup tinggi,
·         Sedikit siswa China dan Jepang yang bisa bersekolah dan mampu mencapai perguruan tinggi.
 Barangkali, aspek yang paling menarik dari penelitian tersebut adalah kecilnya peran yang dimainkan oleh bahasa asli (Inggris) dalam menentukan prestasi kelompok-kelompok etnis. Selain itu, karena siswa Inggris dan Irlandia mencapai prestasi yang sama tinggi, maka kita bisa membuat hipotesis bahwa Bahasa Inggris sebagai bahasa pertama memberikan keuntungan yang signifikan dalam proses imigrasi pada negara yang menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa nasional mereka. Masyarakat Yahudi Israel hampir semuanya sudah melek huruf sejak 2000 tahun yang lalu sehingga imigran yang berasal dari Yahudi baik dari Jerman, Rusia, maupun Polandia atau negara-negara lain yang bahasanya bukan bahasa inggris, sangatlah berbeda dengan keadaan di Inggris, meskipun orang tua anak-anak Inggris sudah melek huruf atau berada di lingkungan yang sudah mahir baca tulis. Banyak orang tua imigran dari Italia dan Spanyol yang tidak berpendidikan. Anak-anak dari imigran Asia memberikan gambaran menarik yang berlanjut hingga hari ini. Walaupun bahasa Asia sangatlah berbeda dengan bahasa Inggris, namun imigran Asia umumnya cepat mampu menyesuaikan diri dan berhasil mempelajari Bahasa Amerika, terlepas dari banyak prasangka buruk terhadap mereka.
Dewasa ini, masalah perbedaan kebudayaan berada dalam  masa kritis yang memiliki dua dimensi. Pertama, proporsi yang besar bagi anak-anak Amerika yang baru saja berimigrasi dari tempat lain, khususnya dari negara-negara Latin dan Asia. Sekolah tidak bisa menjangkau mereka semua dengan efektif, baik dalam hal pencapaian prestasi maupun martabat kebudayaan. Kedua, dunia telah berubah, dan kemakmuran suatu bangsa di masa yang akan datang bergantung pada kemampuan untuk bercampur dengan bangsa lain secara produktif pada saat ini.
Perbedaan etnis dan bahasa yang dibawa masing-masing siswa dan bercampur satu sama lain akan membuat sekolah kita sebagai laboratrium yang kaya dan sempurna, yang menampilkan dan menunjukkan bahwa perbedaan kebudayaan bukanlah suatu halangan untuk memiliki prestasi atau martabat dan mempersiapkan anak-anak kita menghadapi masyarakat global yang baru, baik secara individu maupun sosial. Di California dan Texas, pada tahun 1998, nama yang diberikan pada anak laki-laki yang baru lahir adalah Jose.
Kita memiliki kurikulum dan teknologi instruksional yang bisa kita gunakan dan dimanfaatkan jika kita memiliki kemauan.
3.      Lebih Jauh Tentang Gender
Perbandingan prestasi yang dicapai oleh siswa pria dan wanita dalam studi-studi pembelajaran siswa berskala luas membuka banyak hal yang menakjubkan dan pertanyaan-pertanyaan serius terkait dengan pendidikan Amerika. Perbedaan gender tidak banyak berpengaruh dalam studi social, ilmu pengetahuan, dan matematika. Namun, dalam bidang baca – tulis inti, siswa laki-laki masih berada di bawah rata-rata dalam hal melek huruf. Rata-rata ini tentu akan memengaruhi jumlah siswa yang lulus dari perguruan tinggi serta jumlah siswa yang mendaftar pada perguruan tinggi. Selama 20 tahun, kita bisa menantikan adanya masyarakat yang berumur antara 25 hingga 40 tahun dalam  suatu negara, yang  60 %dari mereka adalah wanita yang mampu lulus dari perguruan tinggi dan mendapat kehidupan yang layak. Perbedaan gender dalam aspek melek huruf memang harus diperhatikan, sebab permasalahan ini melampaui level sosial ekonomi maupun level ras dan etnis.
Meski demikian, siswa wanita tetap dirugikan utamanya dalam beberapa hal yang memunculkan proses dikotomi dan hubungan antara kebudayaan, individu dan dunia sekolah. Sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya siswa wanita yang mendaftar di kelas pertama konsentrasi profesi terus menerus tersisih dan berada dki belakang.
Pendidikan merupakan bagian dari masyarakat. Hubungan antara kebudayaan dengan pendidikan merupakan hal yang penting pada umumnya namun pada khususnya hubungan tersebut semakin diperjelas dengan isu gender. Cobalah bayangkan kita sedang menjalani proses semacam ini.
Bayangkanlah bahwa masyarakat sebagai sekelompok guru dalam jumlah besar, senantiasa mengilhami berbagai macam pemikiran nilai, gaya perilaku, dan termasuk juga hubungan. Sejak kita lahir, masyarakat sudah mulai mentransmisi kebudayaan yang ada secara terus menerus pada kita. Bahkan pada masa – masa perubahan social, kebudayaan ada bersama kita dan kebudayaan tersebut telah berhasil mewarnai serta memadukan perubahan.
Bayangkan tentang keluarga sebagai guru yang handal, sebuah instrument pendidikan dalam masyarakat yang juga mengajarkan beragam kebudayaan kepada putra-putrinya. Mengajari bagaimana menjadi anak lelaki maupun anak wanita yang baik. Menanamkan cara-cara berinteraksi dengan orang lain, menyalurkan aspirasi dan konsep diri yang lemah dan kuat.
Bayangkan juga sekolah sebagai agen social. Sekolah juga turut mengajarkan norma-norma kultural dengan cara-cara tertentu dan juga memperkerjakan beberapa orang yang telah memiliki pengalaman social yang memadai. Perpindahan kebudayaan pun akan terus berlanjut selama kebudayaan tersebut masih didiami, diproses, dan dipreaktikkan.
Pada akhirnya bayangkanlah sebuah ruang kelas dimana mengajar merupakan tugas yang telah ditetapkan.
Sekarang andaikan ada kasus luar biasa dimana empat tingkatan yang kita bayangkan tadi menjadi semacam fenomena yang tak terbayangkan. Para pekerja dengan penghasilan yang rendah dengan tugas teknologi yang sangat rendah memiliki sedikit kesempatan untuk belajar teknologi di tempat kerja mereka. Seperti di rumah-rumah yang merefleksikan perbedaan -perbedaan ekonomis dalam bentuk kesempatan-kesempatan teknologi yang ditawarkan kepada anak-anak. Sekolah yang melayani beragam lapisan ekonomi membedakan anak mereka berdasarkan kemampuan teknologi yang dimiliki. Apa yang terjadi? Orang kaya akan menjadi lebih kaya dalam konteks teknologi.
Fenomena ini tidak terlalu kelihatan. Contoh-contoh yang berkaitan dengan kesetaraan gender cenderung lebih subtil dan elusif. Myra dan David Shaker melahirkan sebuah karya apik yang membahas mengenai masalah  ini (Sader dan Sadker, 1994) proses dan kepustakaan mereka yang cukup kaya merupakan langkah awal yang baik dalam menganalisis permasalahan ini.
Dalam Level Sosial. Walaupun kita adalah generasi umum yang memiliki pandangan umum bahwa pendidikan adala hak bagi laki-laki dan perempuan, masyarakat masih mengajarkan perbedaan gender yang terkait dengan dunia pendidikan. Misalnya, kebudayaan kita menggambarkan laki-laki sebagai unggul dalam bidang matematika dan mesin, namun lemah dalam bidang baca tulis, dan siswa perempuan adalah mereka yang kurang handal dalam bidang matematika dan permesinan namun unggul dalam hal empati dan pengasuhan. Beban dan anggapan social yang demikian masih saja dipertahankan meski sudah banyak bukti yang menguatkan bahwa siswa laki-laki dan siswa perempuan memiliki kapasitas yang sama dalam menguasai seluruh mata pelajaran yang diberikan di sekolah. Dalam hal ini, media juga turut berpengaruh pada keberadaan insan akademis, media cenderung menyangkutpautkan ilmuwan dengan siswa laki-laki (Gerbner, 1995). Tidak hanya itu, media terkadang memberikan pemberitaan bahwa ilmuwan adalah sosok yang menyeramkan dan kaku. Senyatanya, insan akademik secara umum seringkali direpresentasikan sebagai ‘pelajar’ yang aneh. Namun di sisi lain, program luar angkasa terkadang mengoreksi imej tersebut, khususnya publisitas yang menyiarkan dan menghadirkan seorang astronot perempuan.
Tekanan social meluas pada masalah-masalah kepribadian. Walaupun masyarakat berada dalam sebuah iklim yang terus menerus berubah, laki-laki seringkali diajarkan untuk menjadi orang yang terkemuka, menjadi pribadi yang baik dan memerintah, sedangkan wanita cenderung mendapat pelajaran dan perintah untuk bersikap feminim dan menarik.
Dalam Rumah. Banyak keluarga yang menaati standar social. Kita bisa melihat hal ini dari jenis-jeni karir yang ditawarkan oleh keluarga. Misalnya, sangat sedikit keluarga yang menyarankan putrinya untuk mengambil konsentrasi sains, farmasi, dan matematika. Mereka lebih menawarkan pilihan-pilihan ini pada anak lelaki mereka. Dengan kata lain, saat siwa laki-laki dan siswa perempuan mulai masuk dalam lingkungan sekolah, program-program social dengan sendirinya memperkecil kemungkinan siswa perempuan untuk mengambil konsentrasi sains dan matematika. Namun, keluarga di Asia sama-sama menawarkan pilihan tersebut pada putra dan putri mereka. (Burkham, Lee dan Smerdon, 1997)
Dalam Sekolah, selama beberapa tahun, siswa laki-laki memiliki kesempatan lebih banyak untuk memilih konsentrasi sains dan matematika, meskipun prestasi siswa wanita juga menunjukan bahwa mereka juga memiliki kualifikasi yang sama dengan laki-laki. Perbedaan ini secara perlahan – lahan sudah semakin menyempit (Davenport, dkk 1998) kendatipun, ketidaksetaraan masih tidak bisa dihapus total. Yang jelas, kebijakan sekolah dan adanya konseling yang diberikan guru haruslah saling mendukung dengan pelajaran yang diterima siswa. Matematika adalah materi gerbang pembuka yang berhubungan dengan sains, yang mempertimbangkan tidak hanya pada aspek prestasi yang dicapai, namun juga pada pendaftaran ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tobias (1993) merujuk sebuah penelitian mengenai wanita yang mendaftar pada Universitas California di Berkeley. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa semua wanita yang mendaftar di sana memiliki prestasi yang tinggi dan layak untuk diakui. Tanpa empat tahun belajar matematika sekalipun, siswa-siswi yang diterima masuk di jurusan matematika beralih pada kimia atau fisika. Mereka yang termasuk dalam golongan ini tidak diuntungkan secara statistik dan ekonomis. Oleh karena mereka tidak bisa belajar materi yang diinginkan tersebut, maka mereka tidak berhak memilih 10 dari 12 perguruan tinggi dan 22 dari 24 universitas yang ditawarkan. Saat laki-laki dan perempuan diminta untuk mengambil semua jurusan matematika dan sains dalam  studi di Australia Barat, perbedaan gender dalam hal prestasi tidak muncul (prestasi siswa perempuan tidak jarang melampaui siswa laki-laki) (Parker dan Offer, 1987)
Dalam Ruang Kelas misalnya, saat kita ingin mengajarkan pelajaran matematika dan sains, isu penting yang muncul adalah apakah pelajaran tersebut akan dilaksanakan dengan modal penelitian ilmiah dan bagaimana kelas dikondisikan dengan model tersebut (Burkham, Lee dan Smerdon, 1997; Staver, 1989). Model yang digunakan tidak hanya akan berpengaruh pada prestasi, namun juga pada konsep diri akademik. Sader dan Sadker (1994) menegaskan bahwa di sekolah dasar, 31 % siswa perempuan sekolah merasa dirinya handal dalam bidang matematika, dan hanya ada 18 % siswa perempuan sekolah menengah yang merasakan hal demikian. Kelas yang berorientasi pada penelitian aktif, dengan pengalaman – pengalaman laboratorium, hadir untuk meningkatkan pembelajaran bagi semua siswa dan juga mengembangkan gaya yang dapat mereduksi perbedaan-perbedaan demografis (kategorial) bagi semua siswa. Termasuk juga perbedaan gender. Perbedaan gender adalah hal yang paling mencolok saat suatu pelajaran diajarkan dalam format “kapur tulis dan bicara” bahkan dalam pelajaran-pelajaran yang paling dominan dengan pengalaman-pengalaman laboratorium pun, para siswa juga bisa menjadi tidak setara (Jocanovic dan King, 1998).
Namun, ruang kelas juga dapat menciptakan kesetaraan gender dengan cepat, walaupun ada perbedaan yang sangat besar saat pelajaran dimulai (Kahle, 1985; Kleiin 1985; Weiss, 1978). Yang terpenting apa yang dipelajari sebagai masalah kognitif (Maccoby dan Jacklin, 1974) tidak lagi muncul dari sudut pandang penelitian pendidikan (Linn dan Hyde, 1989).
Perbedaan- perbedaan gender dalam hal melek huruf masih sangat besar, perbedaan tersebut terus diterima oleh mayarakat sebagai hal yang wajar. Mereka  umumnya beranggapan bahwa hal yang demikian disebabkan perbedaan genetic. Namun, perbedaan ini tidak akan terjadi pada pengajaran membaca jika strategi yang diterapkan mampun menanggulangi hal tersebut.
Kita tidak akan mengatakan bahwa orang dewasa dan orang sudah beranjak dewasa tidak memiliki waktu yang tepat untuk belajar, seperti halnya dengan siswa muda yang masih harus belajar beberapa istilah dan mengamati kehidupan nyata serta perbedaan biologis mereka yang terkadang menakjubkan. Namun anggapan kami tidak demikian. Anggapan kami lebih kepada bahwa perbedaan gender bukan berarti dapat mencegah proses pembelajaran.
Dalam sistem pendidikan ruang kelas yang unggul, setiap orang bisa menang, pangajaran yang baik adalah kuncinya. Intinya, sekolah haru menciptakan nuansa kebudayaan semacan ini.

2.      Kesempatan Pendidikan
Ya, kita sangat beruntung memiliki kesempatan untuk mengajar. Panorama kemanusiaan yang kaya mempertemukan kita dengan siswa-siswa kita di sekolah. Kita dianugrahi siswa-siswi yang memiliki warna yang berbeda dan memperlihatkan kebudayaan yang melimpah serta perbedaan individu di antara mereka. Kita pun dianugrahi kesempatan berharga untuk menunjukan banyak hal kepada mereka, seperti ilmu pengetahuan, sebuah globe yang memperkecil semua kebudayaan dalam satu dunia yang dapat direngkuh dalam satu jangkauan. Kita berada dalam satu negara yang berperan sebagai pembuat kebijakan politik yang bebas memberikan keputusan apapun. Kita memiliki media yang luar biasa bagus dan dapat kita jangkau serta perpustakaan yang memudahkan proses pembelajaran.
Kekayaan yang kita miliki memudahkan kita mengajar dengan memanfaatkan keberagaman manusia dan memperkaya masyarakat kita. Teknik pengajaran kita yang cukup memadai memudahkan kita untuk mengjangkau semua siswa dan memastikan bahwa mereka telah mendapat pendidikan yang semestinya. Kita bisa menerapkan berbagai cara dalam bekerja dan beraktivitas serta merancang dan membangun kehidupan yang berkualitas.
“Pasrah pada sesuatu adalah bagian tersulit dalam Pertumbuhan, baik secara social maupun individu”
Bagian yang paling sulit dari perjuangnan kita adalah memberikan gagasan bahwa perbedaan gender, ekonomi, kebudayaan, dan rasial merupakan factor yang menentukan potensi pendidikan. Semua yang disebut itu akan benar-benar menjadi factor penentu hanya jika kita membuatnya demikian. Model pengajaran yang handal menjangkau semua siswa dan menciptakan arena permainan yang lebih banyak sebab  model tersebut mengajarkan pada siswa bagaimana belajar yang fleksibel dan adaptif  untuk mengakomodir perbedaan- perbedaan secara produktif sembari memanfaatkan perbedaan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, kita terbiasa mendengar bahwa “bertamasya memperluas wawasan”. Ucapan tersebut benar adanya sebab anda akan menjumpai kebudayaan-kebudayaan yang lain dan menemukan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu, anda akan tahu bahwa hanya ada satu jenis manusia di muka bumi ini.
a.      Warna Kulit dan Etnis
Prasangka rasial merupakan bagian ideology masyarakat kita selama beberapa tahun, dan inferioritas dalam hal intelektualitas telah lama disandingkan pada orang-orang yang memiliki warna kulit tertentu, yang juga bagian dari prasangka buruk tersebut. Review mengagumkan yang ditulis oleh Prof. Jim Banks dari universitas Washington melakukan pelacakan pada studi-studi yang dilakukan oleh para ahli psikologis yang telah mengkaji ras dan kemampuan akademik (Banks, 1995) walaupun hampir semua ahli ilmu social menolak dugaan bahwa aspek ras adalah hal yang menentukan intelegensi, namun dugaan ini sudah sangat berakar kuat di dalam masyarakat. Walaupun pencapaian-pencapaian luar biasa telah dicapai oleh orang-orang dari beragam warna kulit dan kemajuan ekonomi telah dibuat oleh masyarakatnya yang terdiri dari beragam warna kulit menunjukan bahwa prasangka semacam itu tidak tepat dan tidak beralasan. Dalam masyarakat, masalah ini justru semakin tampak dengan munculnya kenyataan bahwa orang dengan warna kulit tertentu adalah mereka yang miskin secara ekonomi.
Kenyataannya, ras tidak bisa memperkirakan prestasi dan kemampuan akademik. Namun pendidikan yang baiklah yang dapat mempertimbangkan hal tersebut. Program-program sama yang dikutip pada bagian sebelumnya juga menunjukan bahwa dengan kurikulum dan pengajaran yanag baik serta iklim social yang positif, perbedaan rasil dalam pencapaian prestasi akademik akan menyusut sangat drastis. Kita sudah punya teknologi. Kita hanya tinggal menggunakannya saja. Namun masalahnya memang rumit, karena semuanya kembali pada apa yang akan kita lihat dalam scenario yang merangkum bab ini.
Skenario
Rodney kecil hidup di tengah keluarga yang sebagian besar anggotanya tidak mengeyam pendidikan. Namun mereka, sangat berharap Rodney bisa memperoleh pendidikan hingga jenjang yang paling tinggi. Pada usia tiga belas tahun, Rodney sudah mulai bekerja sepulang sekolah dan mengumpulkan uang dengan harapan ia bisa membiayai kuliahnya sendiri. Rodney adalah warga negara Amerika kulit hitam. Dia sangat percaya diri, sopan, tekun, bertanggungjawab, hemat dan suka menabung serta memiliki tujuan hidup.
Sekolah tempat ia belajar mencoba mengirimkannya masuk ke sekolah kejuruan dan tidak menawarinya sekolah yang berbau akademik. Konselor yang membimbingnya adalah seorang wanita kulit putih yang berpandangan cukup kaku khususnya kepada mereka yang melanjutkan kuliah dan kepada mereka yang tidak. Dia beranggapan bahwa Rodney memiliki bakat di bidang penjualan dan pertokoan. Bakat tersebut adalah hal yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Awalnya, Rodney berusaha memecahkan dan memikirkan masalah tersebut seorang diri, dia menjelaskan bahwa ia mendapat nilai akademik yang baik, bahwa dia tidak hanya mahir dan cakap saat bekerja di toko dan bahwa ia maupun keluarganya telah menyiapkan uang untuk biaya kuliahnya di perguruan tinggi. Namun, konselornya tidak bergeming “perguruan tinggi bukanlah untuk semua orang” Rodney pun tidak mau kalah, selain bekerja diluar dunia akademik, dia juga mulai memahami bahwa memiliki nilai yang baik adalah hal yang berharga dalam hidupnya.
Karena keluarganya adalah oang yang tidak terpelajar, mereka akhirnya merasa tidak mampu untuk membuat Rodney melanjutkan sekolah. Namun ada seorang tetangga kulit hitam yang bernama Crozier dan tertarik pada perjuangan Rodney. Dia juga memiliki anak yang seumuran Rodney dan sedang tumbuh dan walaupun tugas-tugas akademik yang meumpuk dia tetap memiliki hasrat untuk melanjutkan kuliahnya. Crozier pun berupaya membantu Rodney dengan mengutarakan keinginannya ke warga kulit putih dan masyarakat kampus. Dia pun berupaya meyakinkan orang-orang kulit putih dengan mengutarakan alasan-alasan logis yang intinya adalah memberikan Rodney kesempatan untuk kuliah. Rodney pun mendapat kesempatan untuk mendapat pelajaran tembahan di sebuah tempat bernama bimbel X sehingga dia bisa memiliki nilai akademik yang semakin tinggi dan terus mecari kerja untuk mengumpulkan uang agar kelak ia bisa kuliah. (Halbertam, 1998:379-380).

Pertempuran Pun Berlanjut
Suatu penelitian terakhir menunjukan bahwa derajaat generasi mutakhir seperti Rodney membutuhkan advokasi yakni usaha penyetaraan dari sekolah dan distrik mereka. Penelitian tersebut melihat siswa yang memiliki skor CTBS tinggi dan apakah mereka telah mendaftar di jurusan matematika. Hasilnya adalah sebanyak 51 %  kulit hitam, 42% siswa Spanyol, 88% siswa kulit putih, dan 100% siswa asal Asia telah mendaftar di jurusan matematika. (Thorson, 2002)
Model-model pengajaran memang buta terhadap warna kulit, gender, etnis dan status social ekonomi. Namun system social tidak buta. Meski demikian, system semacam ini harus diperbaiki oleh system pendidikan kita.
B.     Mengatasi Masalah Secara Langsung Dengan Model-model Pengajaran
Baik kajian-kajian yang dilaporkan oleh NAEP, kajian-kajian oleh depertmen pendidikan nasional dan provinsi, ataupun sekadar informasi yang tersedia di distrik – distrik sekolah, gambarannya sebenarnya sama, sekitar sepertiga siswa kita tidak dapat menjangkau tingkat kompetensi yang dibutuhkan untuk mendidik diri mereka sendiri dengan mengakses sumber-sumber pembelajaran yang digunakan di sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi. Lebih jauh, situasi tersebut menjadi lebih buruk bagi bebrapa siswa saat kompetensi mereka tertinggal dengan siswa-siswa lain seumurannya.
Akibatnya, hampir semua sekolah menghadapi situasi dimana siswa kelas 4 hingga 12 masih merupakan pembaca pemula. Para guru di sekolah tersebut hanya memilki karakteristik  skill dan pengetahuan mengenai siswa tingkat awal atau tingkat menengah. Dalam beberapa hal intervensi yang dilakukan guru pada tingkat pendidikan prasekolah, taman kanak-kanak, dan sekolah  dasar telah mengurangi jumlah tersebut (lik. Slavin, Madden, Dolan dan Wasik, 1996; Pinnel dkk 1994)
1.      Perspektif
Penelitian mengenai metode pengajaran membaca sangat penting dan meletakkan dasar atas suatu kurikulum yang bisa kita jadikan teori akan menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan. Kendati begitu, karena kurikulum- kurikulum ini tidak dibuat berdasarkan sepaket materi yang bisa ditiru hanya dengan sedikit latihan. Menerapkan kurikulum- kurikulum semacam ini mensyaratkan pengembangan staff yang berorientasi pada penelitian karena keberhasilan penerapan kurikulum ini juga ditentukan oleh upaya pengembangan repertoar dari para guru. Staff  harus mempelajari pemelitian, memperoleh strategi baru dalam pengejaran, dan mengamati siswa yang tengah belajar dalam aturan formatif maupun sumatif.
2.      Kurikulum Second Chance Untuk Belajar Membaca
Di beberapa review (Calhoun, 1997;Joyce 1999 dan Shower, Joyce, Scanlon dan Schaubett,1998) kami berpendapat bahwa kurikulum multidimensi yang berisi beberapa komponen berikut ini berpotensi untuk bisa membantu para pemula untuk mempercepat pertumbuhan mereka dalam baca tulis, memperoleh penghargaan diri yang telah hilang, dan menjangkau kesuksesan akademik serta kemampuan mengajar diri sendiri melalui membaca dan menulis. Komponen-komponen tersebut meliputi:
·         Pengembangan kosakata atau kata kata yang telah diperoleh dari mendengar atau berbicara melalui model induktif kata bergambar (Calhoun 1997) atau pendekatan merekam pengalaman (Staufer, 1969) dan pembelajaran kata yang dilakukan melalui pembacaan ekstensif (Nagy dan Anderson, 1984),
·         Pembacaan ekstensif pada tingkat yang telah berkembang (Duke dan Pearson, tanpa tahun),
·         Pembelajaran mengenai pola pola kata yang mencakup pengejaan (Ehri, 1999),
·         Aktivitas menulis secara regular (beberapa kali dalam sehari) dan pembelajaran mengenai tulis menulis (Englert, Raphael, Anderson, Anthony, dan Stevens, 1991),
·         Pembelajaran mengenai strategi-strategi pemahaman (Garner, 1987; Pressley 1995).
Pembelajaran yang dilakukan baik oleh guru maupun siswa, mengenai tingkat kemajuan tiap minggu dan tiap bulan, yang meliputi tingkatan-tingkatan buku yang dibaca siswa, tingakatan kata-kata yang dipelajari, tingkatan keterampilan analitis fonetik dan structural, tinkatan informasi dan tingkatan kemahiran dalam menulis (Calhourn, 1999).
Kurikulum Kesempatan Kedua (The Second Chance Curriculum) membutuhkan waktu sekitar sembilan puluh menit tiap hari. Utnuk siswa-siswa sekolah maupun perguruan tinggi waktu 90 menit tersebut diperuntukan untuk mengganti materi-materi pelajaran yang bersifat pilihan dan eksploratif. Lama waktu pendaftaran mungkin akan sangat beragam. Gap antara kompetensi yang dimiliki siswa saat pendaftraan dan level yang dibutuhkan dalam mengatur sumber daya pembelajaran yang bersifat kelas bisa jadi sangat penting. Oleh sebab itulah pendaftaran harus diselenggarakan awal tahun dengan jaan
3.      Metode Penelitian/Sumber Kata
Di Northern Lihts School District, kurikulum Kesempatan Kedua dipadukan dengan program-program inisiatif lain yang sudah ada. Semuanya dilaksanakan dalam kerangka referensi penelitian yang menempatkan guru dan administrator untuk melaksanakan penelitian dan pengajaran pada siswa. 20 sekolah di distrik tersebut memiliki populasi siswa yang cukup bervariasi dalam hal SES dan etnis. Baik pendapat guru maupun penilaian provinsi mengindikasikan bahwa distrik tersebut berciri khas bangsa Amerika utara sekitar sepertiga siswa ada pada pembaca pemula.
Komponen- komponen program tersebut mensyaratkan adanya pengembangan staff untuk kemudian dilibatkan dalam kurikulum dan  pola-pola pengajaran yang berbasis penelitian. Beberapa komponen ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa di semua kelas sedangkan komponen yang lain dirancang untuk kelas-kelas tertentu dan anak yang berkebutuhan khusus. Komonen-komponen tersebut adalah:
·         Just Read, sebuah program distrik  yang dirancang untuk  meningkatkan kemampuan membaca mandiri anan siswa. Khsususnya membaca di rumah (Joyce dan Wolf, 1996) alasannya adalah karena siswa harus dibiasakan membaca secara luas untuk memperkuat skill yang dimiliki,
·         Primary Currilucum, (K-3), guru mempelajari dan mulai menerapkan beberapa strategi, khususnya model induktif kata bergambar (Calhoun, 1999; Joyca dan Calhoun, 1998) yang dirancang untuk meningkatkan kosa kata, mengembangkan analisis fonetik structural dan mengembangkan strategi- strategi pemahaman,
·         Early Literacy Tutorial. Focus intervensi ini adalah siswa-siswa di kelas kelask sekolah dasar yang tidak mendapat pelajaran membaca dari kurikulum utama. Staf mempelajari beberapa strategi dasar untuk bisa mengajar langkah-langkah awal dalam membaca,
·         Second Chance, meruoakan upaya penyelamatan kedua. Materi dalam bahasan kita kali ini.
Kajian ini melibatkan 12 sesi dengan 300 siswa pada Light School di bagian Amerika Utara. Para guru program kesempatan kedua mengikuti proses pengembangan staff selama 10 hingga 15 hari untuk mempelajari implementasi kurikulum tersebut dan pertumbuhan siswa berdasarkan ukuran–ukuran yang meliputi ujian-ujian standar (tes Ketrampilan Dasar Kanada) atau ujian pendaftaran Gates-Mc Ginnitie. 20 sekolah di distrik ini memiliki populasi yang sangat beragam baik dalam hal etnis maupun SES.
Dalam laporan ini, ujian-ujian standar merupakan sumber data utama yang ditafsirkan berdasarkan pertama, karakteristik – karakteristik siswa dan kedua kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh. Data yang lengkap sudah tersedia untuk 20 siswa dalam 12 sesi tadi. Untuk setiap siswa, indikasi - indikasi latar belakang pembelajaran dihitung dengan menyediakan perkiraan-perkiraan tentang kemajuan siswa yang dibandingkan dengan rata-rata siswa.
Semua siswa memiliki pencapaian yang cukup substansial dalam subtes. Kosakata, subtes pemahaman atau dua subtes Canada Tests of Basic Skills. Di kelas ini hanya di 3 siswi perempuan, sebab itulah ada perbedaan gender yang cukup besar dalam pendaftaran, namun tidak ada pengaruh pembelajaran.
Selama setengah tahun ini, pemerolehan siswa dua kali lebih besar dari pada pemerolehan rata-rata siswa tahun sebelumnya dan delapan kali lebih besar daripada pemerolehan tahunan rata-rata sebelumnya. Bagi sebagian besar siswa ini, tahun ini merupakan tahun dimana mereka mendapatkan skor diatas rata-rata sepanjang mereka sekolah, setidaknya dari perspektif skor-ujian.

Hasil Bukti Berdasarkan Karakteristik Siswa Yang Mendaftar
Setiap sekolah telah mengatur mengatur identifikasi dan registrasi siswa. Hasil dari Read to Succeed mencerminkan perbedaan- perbedaan dalam proses yang dijalankan di sekolah, khususnya prioritas-prioritas yang muncul. Di semua sekolah, ada lebih banyak pembaca pemula yang sudah terlalu tua dibandingkan mereka yang memang waktunya belajar membaca. Pihak sekolah dan administrator dalam hal ini harus memutuskan siapa yang akan diluluskan dalam pendaftaran. Ada 250 orang yang berarti sekitar 10% dari seluruh siswa di distrik tersebut merupakan siswa kelas 4 hingga 9. Dari keseluruhan jumlah siswa ini, berikut gambaran besarnya:
·         Gender: dua pertiganya adalah laki-laki. Beberapa sesi justru secara virtual tampak terdiri dari laki-laki saja dan beberapa sesi lain hanya relatif sedikit,
·         Dianggap memiliki kebutuhan khusus 70 %. 54 siswa memiliki ketidakmampuan belajar yang serius dalam presentase 30 % dan 57 lainnya memiliki masalah komunikasi juga dalam presentase 30 %,
·         Skor - skor tes-tes standar. 46 % dari siswa-siswa sekolah dasar yang telah dites berada dibawah rata-rata siswa kelas dua yang telah lulus.

Lalu bagaimana dengan kemajuan mereka?
·         Keseluruhan : 56 % dari pemerolehan skor mengindikasikan kemajuan mulai dari satu atau setengah kali lebih banyak dari pemerolehan rata-rata siswa hingga tiga kali pemerolehan rata-rata siswa dan hanya 18 % pemerolehan yang telah dicapai sama dengan rata-rata siswa ini (kurang lebih dua hingga empat kali lebih besar dari rating kemajuan sebelumnya),
·         Gender: kemajuan yang didapat oleh laki-laki dan perempuan secara keseluruhan hampir sama,
·         Sesi-sesi sekolah dasar dan sekolah menengah juga membuat pemerolehan hampir sama. Tingkatan kelas siswa dalam setiap sesi bukan merupakan factor penghambat,
·         Skor – skor untuk setiap entri juga bukan menjadi factor penghambat. Siswa -siswa yang memulai pada angka 1, 3, 4 dan seterusnya mendapat pemerolehan yang sama.
·         Siswa-siswa berkebutuhan.secara keseluruhan, pertumbuhan siswa yang memiliki atau tidak memiliki kebutuhan khsus bisa dikatakan sama di semua kelas.
·         SES siswa juga bukan merupakan faktor penghalang.
4.      Membuat Kurikulum
Yang terpenting adalah bahwa penelitian mengenai kurikulum untuk para pembaca (siswa) pemula yang sudah terlalu  tua dapat mencapai satu tujuan yang didalamnya kita dapat merancang kurikulum yang dapat menjangkau siswa-siswa ini dan memberikan mereka kesempatan untuk tumbuh berkembang pada rating yang normal atau lebih baik. Kajian-kajian lebih lanjut diharapkan akan mengkaji siswa yang memiliki respons dan perkembangan akademik yang rendah dalam rangka memperbaiki dan mengembangkan kerangka kerja kurikulum. Yang  juga penting adalah penelitian lanjutan ini, dimana guru dan administrator di sekolah distrik dapat memohon beasiswa untuk membentuk komunitas peneliti, harus hadir sebagai suatu penelitian yang dapat dan mudah diterapkan oleh para guru, khususnya di lingkungan Northern Lights.
a.      Suasana – Suasana Pembelajaran
Merencanakan kurikulum, kursus, unit, dan pelajaran merupakan sine qua non pengajaran yang baik. Dalam bab ini kita akan mempelajari cara merancang kurikulum dari gagasan seorang guru lalu mencoba mengaplikasikan kerangka kerjanya pada berbagai masalah yang muncul dalam merencanangkan pengajaran.
Salah satu buku penting yang membahas mengenai pengajaran dan pembelajaran adalah Condition of Learning (1965) karya Robert N. Gagne. Gagne melakukan analisis dengan cermat mengenai variabel-variabel penting dalam proses pembelajaran serta cara-cara mengatur pengajaran untuk memperhitungkan variabel- variabel tersebut.
1.      Keragaman Performa
Gagne mengklasifikasikan performa-performa siswa ke dalam 6 jenis pembelajaran:
a.       Respons spesifik
Adalah tindakan membuat respons khusus sebuah stimulus tertentu. Misalnuya, ketika seorang guru kelas satu memegang dan memperlihatkan kartu yang bertuliskan anjing (stimulus) maka siswa akan mengatakan ‘anjing’ (sebagai respons). Respons spesifik merupakan jenis pembelajaran yang sangat amat penting dan dasar dari seberapa banyak informasi yang kit miliki. Agar siswa bisa memberikan respons yang tepat dan benar, kita hjarus berasumsi bahwa sisw memiliki kemampuan untuk membuat hubungan hubungan antara beberapa hal.
b.      Mata rantai
Adalah proses membuat rangkaian atau urutan respons yang dihubungkan satu sama lain. Gagne menggunakan contoh, seperti membuka sebuah pintu dengan kunci dan menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain. Membuka pintu dengan menggunakan sebuah kunci mengharuskan kita melakukan beberapa respons khusus (memilih kunci, memasukannya ke dalam pintu, dan memutarnya untuk membuka pintu).
c.       Diskriminasi ganda
Digunakan untuk mempelajari beragam respons dan mata rantai tertentu, serta untuk mempelajari cara memilih respons dan mata rantai dengan tepat. Diskriminasi diterapkan pada respons-repons yang dipelajari, seorang siswa belajar menghubungkan warna dengan nama mereka berdasarkan situasi-situasi yang sama, semisal belajar mengidentifikasi warna-warna dari objek yang berbeda dalam ruangan khusus, misalnya di ruang kelas sekolah atau di rumah seseorang.
d.      Klasifikasi
Adalah menetapkan objek-objek pada kelas-kelas yang menunjuk pada, misalnya fungsi. Belajar membedakan tumbuhan dengan binatang atau mobil dengan sepeda harus melibatkan proses klasifikasi ini. Hasil proses ini adalah konsep serta gagasan yang menggambarkan dan membenturkan beberapa nhal dan kejadian atau menggambarkan hubungan sebab akibat diantara beberapa hal tersebut.
e.       Penggunaan aturan
Adalah kemampuan untuk bertindak dengan beracuan pada sebuah konsep yang kemudian melahirkan tindakan. Misalkan saja, dalam pelajaran mengeja, kita mempelajari berbagai konsep yang menggambarkan cara-cara mengeja kata. Kemudian, kita mengaplikasikan konsep ini dalam bentuk aturan yang termuat dalam tindakan mengeja itu sendiri.
Pada akhirnya, pemecahan masalah adalah aplikasi aturan-aturan pada masalah yang tidak pernah dihadapi sebelumnya oleh pembelajar. Langkah ini melibatkan aktivitas memilih aturan yang baik dan mengaplikasikannya dalam sebuah kombinasi yang cukup sempurna. Misalnya, seorang anak kecil belajar beberapa atuan tentang bagaimana menyeimbangkan papan jungkat, maka dia kemudian mengaplikasikan aturan-aturan tersebut untuk memindah barang yang berat dengan cungkit.

Jenis performa
Model-model
Respon khusus
Menghafal
Berfikir induktif
Tahap pertama dalam pencapaian konsep
Advance investigasi organizer kelompok (aktivitas kumpulkan data)
Mata rantai
Penemuan konsep
Berfikir induktif


Diskriminasi ganda
Latihan penelitian



Klasifikasi
Penemuan konsep
Befikikir induktif

Advance investigasi organizer
Penggunaan aturan
Latihan penelitian
Simulasi
Berfikir induktif

Pemecahan masalah
Sintetik ilmiah
Berfikir penelitian
Latihan kelompok


Table 2: Model-model yang sesuai untuk performa-performa yang beragam

Ya. Agaknya seserang harus memulai dari level yang paling rumit (pemecahan masalah), kemudian menentukan apa yang harus dipelajari untuk menentukan proses pemecahan masalah.
2.      Memfasilitasi Kelas Pembelajaran
Gagne yakin bahwa enak konsep pembelajaran diatas akan membentuk semacam tahapan secara hierarkis. Sebab itulah, sebelum seseorang membuat mata rantai, ia haruslah mempelajari respons-respons khusus. Diskriminasi ganda membutuhkan proses belajar yang cukup intensif mengenai beberapa mata rantai. Sedangkan klasifikasi dapat membangun diskriminasi ganda. Sedangkan aturan-aturan untuk diterapkan adalah bentuk-bentuk konsep yang dipelajari melalui klasifikasi dan penguatan hubungan sebab akibat. Sedang pemecahan masalah membutuhkan aturan-aturan yang dipelajar sebelumnya.
Untuk memfasilitasi respon khusus, sebuah stimulus hendaknya disajikan pada siswa dalam kondisi-kondisi yang dapat menarik perhatian siswa dan membujuk mereka memberikan sebuah respons yang berkaitan erat dengan penyajian stimulus tadi. Lalu, respons tersebut diperkuat. Guru mungkin saja akan memperlihatkan tulisan anjing dan mengatakan ‘anjing’ meminta siswa mengucapkan kata yang sama, tersenyum, kemudian memuji siswa. Guru terus menerus memancing siswa untuk bisa belajar mengenali kata dan bisa mengeluarkan suara yang sama dengan symbol yang ditunjukkan. Model-model, seperti hafalan dan latihan, merupakan pendekatan – pendekatan yang dapat memfasilitasi respons khusus ini.
Untuk memfasilitasi pemerolehan mata rantai (chaining), sebuah rangkaian isyarat hendaknya ditawarkan dan respons-respons yang relevan haruslah dirangsang kehadirannya. Seorang guru bahasa mungkin akan mengatakan ‘how are you?’ kemudian diikuti dengan berkata ‘como esta Usted?’ yang melibatkan siswa untuk mengatakan hal yang sama seperti tersebut.
Untuk memfasilitasi diskriminasi ganda (multiple discrimination) praktik dengan stimulus yang benar atau tidak benar dibutuhkan, sehingga siswa bisa belajar membuat diskriminasi. Model advance organizer dan model induktif dalam hal ini penting untuk membantu proses tersebut.
Klasifikasi (classifying) diajarkan dengan menyajian beberapa eksemplar buku yang berbeda serta beberapa konsep yang juga beragam. Sehingga perlahan-lahan siswa bisa mempelajari dasar-dasar konsep untuk membedakannya satu sama lain.
Penggunaan aturan (rule using) dapat difasilitasi dengan merangsang siswa untuk kembali memerhatikan sebuah konsep kemudian mengaplikasikannya dalam beberapa kondisi tertentu yang juga berbeda.
Pemecahan masalah (problem solving) umumnya dilakukan oleh siswa sendiri, sebab situasi dan permasalahan yang ada biasanya rumit dan unik. Fase ini bisa bisa difasilitasi dengan menyediakan sebuah masalah yang bisa dipecahkan khususnya ketika instruktur tahu bahwa siswa telah memperoleh aturan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.
3.      Tugas-tugas Instruktur
Gagne menekankan bahwa aktivitas pembelajar sendirilah yang menjadi dan menentukan hasil suatu proses pembelajaran. Fungis instruktur disini adalah menyediakan kondisi-kondisi yang akan menambah kemungkinan siswa memiliki performa yang khusus dan berciri khas. Kami sangat setuju dengan gagasan Gagne pada poin ini. Instruktur (atau mingkin sistem-sistem instruksional) harus menjalankan tugas instruksional seperti berikut ini:
a.       Memberitahu siswa sasaran-sasaran pembelajaran
b.      Menyajikan stimulus
c.       Meningkatkan perhatian siswa
d.      Membantu siswa kembali mengamati dan mengingat apa yang telah dipelajari
e.       Menyediakan keadaan-keadaan yang membangkitkan performa siswa
f.       Menentukan rangkaian pembelajaran
g.      Mendorong dan membimbing pembelajaran
Selain itu, instruktur juga mendorong siswa untuk menggeneralisasi apa yang telah dipelajarinya sehingga konsep dan skill baru yang telah dipelajari dapat ditransfer pada situasi lain.
Memberitahukan pada siswa mengenai sasaran-sasaran pembelajaran sangat penting dalam rangka menunjukan tujuan utama sebuah proses. Misalnya, guru alan berkata. ‘hari ini kita akan mempelajari 3 presiden Amerika Serikat. Kita akan memperlajari nama-namanya, dimana mereka tinggal danhal-hal apa sajakah yang paling identik dan penting tentang mereka yang perlu diketahui’ guru kemudian menyajikan nama Washington, Lincoln, dan Theodore Roosevelt.
Untku mengingat pelajaran yang telah lalu guru mungkin akan berkata ‘ingatkah kalian bahwa kita pernah mendiskusikan bagaimana beberapa Negara tumbuh dan berkembang serta berubah? Bisakah kalian menjelaskan pada kami beberapa perubahan ini?’ siswa akan berupaya untuk mengingat kembali  dan menstimulasi diri mereka sendiri dengan materi yang mungkin berkaitan dengan presiden yang dibahas pada pertemuan tersebut.
Banyak sesi-sesi pengajaran bergantung pada jenis pembelajaran dan materi pelajaran yang ditanyakan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa menyajikan stimulus, memunculkan perhatian, membantu pembelajar memahami sasaran, membangkitkan performa kemudian membanatu pembelajar menggeneralisasi adalah tugas-tugas instruksional utama, yang secara alamiah diikuti oleh instruksi – instruksi lain.
Paradigma Gagne mengingatkan kita pada beberapa prinsip umum yang penting dalam pengajaran: menginformasikan pembelajar tentang tingkatan sasaran – sasaran yang berusaha diwujudkan, menganjurkan generalisasi dan mendorong aplikasi atau semacam penerapan atas apa yang telah dipelajari!
Gagne menekankan bahwa kita tidak bisa mengontrol semua proses pengajaran, namun kita hanya bisa meningkatkan kemungkinan bahwa jenis-jenis perilaku akan muncul. Kita bisa menyajikan stimulus yang berkaitan erat dengan orang lain dan meminta siswa menampilkan performanya. Kendati begitu, haruslah pembelajar yang menciptakan hubungan antara kata yang dicetak/ditulis dan kata yang diucapkan, bukan guru.
Dari poin ini, sebuah model pengajaran membawa semacam struktur yang dapat mengubah kemungkinan bahwa siswa akan mempelajari hal-hal tertentu. Struktur pengajaran menyajikan tugas pada siswa. Respons-respons guru mendorong siswa memberikan respons-respons tertentu, dan system social mengembangkan kebutuhan bagi jenis interaksi dengan orang lain. Dalam table 21.1 beberapa model memproses informasi dan beberapa dari kelompok model pengajaran lain digabungkan dengan enam ragam performa yang telah diidentifikasi Gagne.
Hirarki yang diciptakan Gagne penting membantu kita memilih model yang sesuai untuk beragam sasaran pendidikan. Hirarki tersetbu juga mengingatkan kita tentang beberapa jenis pembelajaran yang dipopulerkan oleh model personal dan juga perhatian yang harus diberikan pada performa-performa siswa saat siswa tengah berperan aktif dalam proses belajar mengenai topik-topik yang cukup penting.
5.      Merencanakan Pelajaran: Pendidikan Global
Mari kita lihat apa yang akan terjadi saat kita menerapkan hirarki yang dibuat oleh Gagne. Mari merancang sebuah kurikulum pendidikan global yang dapat diterapkan pada sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Misalnya, kita membuat sebuah kurikulum yang cukup rumit yang akan memberikan kita kesempatan untuk memikirkan jangkauan beberapa model, dan tentu saja, kita juga berkeinginan untuk menggunakan beberapa di antara model tersebut dalam merancang aspek instruksional semisal kurikulum.
Kita akan mulai dengan pernyataan yang agak ‘sewenang-wenang’ mengenai seluruh sasaran kita. Ingatlah bahwa kita memulai dari sasaran – sasaran pada level pemecahan masalah, sebab hal itu akan membimbing kita dalam menyeleksi sasaran pada level Hirarki Gagne. Kesalahan umum yang harus dihindari dalam perencanaan adalah memulai pada tingkat respons dan kemudian mencoba ‘menghimpit’ jenis-jenis pembelajaran yang lebih kompleks dari respons-respons tersebut.
a.      Sasaran Keseluruhan
Kurikulum- Kurikulum social kami berupaya memastikan bahwa siswa memiliki pengetahuan tentang geografi, bias berpikir tentang beberapa isu penting yang dihadapi manusia di seluruh belahan dunia dan telah siap beinteraksi secara produktif dengan orang dari kultur yang sama maupun berbeda.  Alasan kami sebenarnya adalah bahwa cara pandang global sangat penting bagi pemehaman pribadi demi memimpin bangsa, menciptakan dunia yang lebih baik, dan menghasilkan potensi ekonomi. Pada satu level, kita ingin siswa kita lulus dengan berbekal pelajaran yang akan memudahkan mereka memutar globe, meletakan jari di atas dunia dan mengetahui informasi penting mengenai sebuah Negara.
Sasaran keseluruhan kedua adalah menerapkan kajian mengenai globe sebgai lanjutan kurikulum membaca dan menulis, khususnya membaca dan menulis prosa yang ekspositorif (sasaran ini muncul di seluruh bidang kurikulum)
b.      Membangun Sasaran Sasaran Operasional
Beberapa model pengajaran bias membantu kita mengklarifikasi sasaran – sasaran kita dan mentransformasikannya menjadi tujuan yang kita rencanakan.
c.       Kompleksitas Integratif, Perkembangan, Kognitif, Dan Konsep Diri
Mari kita ulai dengan model yang menyoroti perbedaan individu, memahami globe dan kebudayaan dunia yang bermacam-macam akan membutuhkan kompleksias kepaduan level tinggi, khususnya saat siswa tengah berusaha mengembangkan pandangan mengenai masalah yang cukup yang rumit.
Kerangka dalam mempelajari pengembangan kognitif membantu kita berpikir mengenai jenis-jenis sasaran yang sesuai untuk usia-usia yang berbeda. Siswa yang paling kecil mungkin bias menyerap informasi tentang satu atau dua kebudayaan, namun mereka akan menemui kesulitan untuk memikirkan hal-hal abstrak dalam kebudayaan tersebut. Siswa sekolah dasar yang berada di kelas yang lebih tinggi bisa memanipulasi data demografis mengenai Negara-negara di dunia dan bisa mencari korelasi diantarra beberapa variabel, misalnya belajar bertanya apakah kemakmuran suatu Negara berhubungan dengan level pendidikan, kesuburan, dan lain lain. Mereka bisa membandingkan beberapa kebudayaan dengan mengambil satu atau dua variabel yang konkret dan nyata, misalnya perumahan, lapangan pekerjaan, gaya keluarga dan lain-lain.
Studi mengenai konsep diri cukup membantu kita dalam beberapa hal. Pertama, orientasi umum mengingatkan kita pada keseluruhan kurikulum yang harus disampaikan utuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mempelajari dan menguasai materi yang cukup rumit. Kedua, konsep diri menegaskan bahwa pemahaman diri tetaplah merupakan hal yang sangat penting. Memahami dunia secara praktis dapat membantu pemahaman diri, sebab pemahaman diri membantu siswa dalam memikirkan kebudayaannya sendiri serta menghubungkannya dengan kebudayaan lain dan mencoba memahamai bagaimana nilai kebudayaan dapat mempengaruhi pemikiran dan tingkah laku.
Mari kita juga memikirkan hal ini dari sudut pandang kelompok- kelompok model pengajaran:
1.      Tindakan Kooperatif dan Saling Memahami.
Kelompok model pengajaran social (social family) menawarkan cara pandang dalam membentuk sebuah komunitas pembelajar kooperatif dan membantu komunitas tersebut mengeksplorasikan dunia secara bersama-sama serta memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang nilai. Bermain peran menawarkan sebuah perangkat untuk membantu siswa mempelajari nilai mereka sendiri sebagai kemajuan dan perkembangan dalam sebuah penelitaian.
2. Mempelajari Informasi Dan Konsep Membuat dan Menguji Hipotesis                                                                                                                                       
Model pengajaran memproses informasi, menempatkan disposisi kita pada seperangkat instrumen yang relevan. Pengembangan konsep tersebut akan dibutuhkan untuk mengakses informasi  yang cukup banyak dan berpikir mengenai hubungan-hubungan akan memunculkan banyak hipotesis untuk diuji oleh mahasiswa.
3.      Aktualisasi Diri dan Arahan Diri

Jika penggagas model-model personal memiliki cara mereka sendiri, maka kita akan memiliki banyak kesempatan untuk melakukan penelitian arahan diri dan kita akan memiliki banyak kesempatan untuk melakukan dan arahan diri dan kita akan mendorong siswa kita untuk tidak hanya mengikuti minat-minat yang datang tiba-tiba atau bekerja pada tingkat perkembangannya saat ini, namun juga untuk memperluas minat-minat tersebut kedalam bidang-bidang baru dan menuju pola-pola belajar yang terbaik. Kita akan menjadikan perasaan mereka sebagai bagian dari materi pelajaran dan akan selalu berpandangan bahwa ilmu pengetahuan adalah konstruki personal.

1 comments:

Khosyim Mawardi said...

Maaf ini sumber dari makalh ini mn yha..?

Post a Comment