KESETARAAN
A.
Gender,
Etnis, Dan Latar Belakang Sosial Ekonomi
Pada
bab 19 sebelumnya, kita telah membahas banyak hal tentang bagaimana sebuah
proses pembelajaran memberikan hal-hal yang kurang menyenangkan dan beberapa
cara untuk memastikan bahwa murid yang kita didik dapat sedikit melepaskan
kenyamanan yang mereka nikmati dan beralih pada keadaan yang menyusahkan bagi
mereka. Pada bab ini, kita akan membahas banyak hal mengenai demografi-tentang
bagaimana perbedaan- perbedaan ketegorial yang berpengaruh pada kita sebagai
pembelajar dan bagamana kita merancang lingkungan pendidikan yang kondusif,
sehingga perbedaan – perbedaan seperti
jenis kelamin, etnis atau bahkan ras tidak berpengaruh negatif pada anak didik
kita.
Beberapa perbedaan antara para
pembelajar biasanya murni bersifat individual. Itu semua turut berpartisipasi
dalam terwujudnya perbedaan tersebut, misalnya dengan berpenampilan berbeda.
Perbedaan- perbedaan lain bersifat kategorial seperti fitur-fitur demografis
yang secara luas dapat menuntun pada keuntungan atau ketidakberuntungan
sekelompok orang yang memiliki karakteristik tertentu. Berhubungan dengan
perbedaan-perbedaan individual, pribadi kita berinteraksi dengan setiap
lingkungan pendidikan dan kemampuan kita untuk memperoleh keuntungan dari lingkungan tersebut. Karakter individu
dapat sangat berpengaruh pada kesuksesan dalam sekolah maupun dalam kehidupan.
Bebrapa orang yang berasal dari lingkungan-lingkungan sekolah yang kurang
bonafit senyatanya mengajari diri mereka sendiri dengan mulia, sementara orang
lain yang berasal dari sekolah yang cukup bonafit melakukan hal-hal yang
menakjubkan atau bahkan hal yang sangat memalukan. Tentunya, kita menggunakan
model ini sebagai upaya untuk menjangkau semua siswa dengan segala perbedaan
yang mereka miliki. Cara yang kita gunakan adalah dengan memberikan perangkat
pembelajaran yang akan sangat efektif pada kepribadian mereka.
Disini
kita akan menguji perbedaan- perbedaan kategorial dan juga fokus pada
perbedaan-perbedaan gender, status social ekonomi dan etnis sebab sekolah pada
umumnya memunculkan beragam perbedaan yang cukup serius dalam pekembangan
pendidikan berdasarkan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan siswa dengan latar belakang ekonomi,
etnis dan social yang berbeda. Lalu kita akan mempertimbangkan fungsi model
pembelajaran yang berbeda-beda untuk mengurangi ketidaksetaraan yang
berhubungan dengan perbedaan karakter. Sebagai langkah awal, mari kita amati
data umum tentang prestasi dan beberapa capaian di AS. Sebagian, meski tidak
seluruhnya, focus kita akan diarahkan pada data yang menyoroti
kategori-kategori demografis atau memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang
aktivitas pendidikan.
1. Penelitian
Berskala Luas Mengenai Prestasi
a. Data Tentang
Perbedaan-Perbedaan Kategorial
Masyarakat
selalu dan pasti berubah. Perubahan besar dengan berkembangnya isu gender di
perguruan tinggi menjadi pertanda
perubahan- perubahan yang lebih besar muncul, tetapi jelas perbedaan gender
bukanlah permasalahan yang mengkhawatirkan. Cobalah sejenak renungkan fakta
yang membahagiakan pada tahun 1990, universitas AS memberi penghargaan pada 933
doktor dalam disiplin ilmu matematika, namun hanya 401 dari penghargaan
tersebut yang diberika pada warga negara AS sendiri. Wanita memperoleh 87
penghargaan tersebut. Warga negera afrika amerika hanya menerima 4 penghargaan.
b. Lulusan Sekolah
Tinggi
Informai
tentang rating kelulusan cukup mampu memberikan suplai terhadap efektivitas
pendidikan secara umum dalam kategori yang berbeda. Inilah bebrapa
informasi yang berasal dari laporan
salah satu negeri terluas di AS.
c. Jumlah Pendaftaran,
1996-1997
Kelas 9 :
193,000
Kelas
10 : 161,000
Kelas
11 : 128,000
Kelas
12 : 105,000
Jumlah
siswa yang lulus lebih sedikit dari
separuh jumlah pendaftaran kelas 9.
Jumlah siswa menurun dari tahun ke tahun. Ketika gambaran tersebut diruntuhkan
oleh isu etnisitas, muncul suatu perbedaan kecil di antara para siswa yang
berasal dari kulit putih Afrika-Amerika, dan bangsa Spanyol. Lebih dari separuh
siswa tidak bisa lulus tepat waktu. Diruntuhkan oleh isu gender, sekitar 55
persen siswa wanita bisa lulus tepat waktu sedangkan jumlah siswa pria yang
tepat waktu hanyalah 43 persen. (Departemen Pendidikan Florida, 1998).
Selain
itu, kita dapat bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Dalam skala nasional
beberapa lulusan sekolah tinggi tahun-tahun belakangan ini telah mendekati
setidaknya angka 70 persen dari siswa
yang berumur 17 tahun dan jumlah siswa wanita yang lulus melebihih jumlah
kelulusan siswa pria dalam jangka waktu beberapa tahun. Perbedaan gender pelan
namun pasti kemudian lebih dan semakin meluas.
d. Melek huruf
Tentu
saja, misi utama sekolah dasar adalah pengajaran membaca. Buktinya kita bisa
melihat rating ekfektivitas pengajaran sekolah kita dari aspek membaca secara
umum. Hal yang juga penting untuk diperhitungkan adalah tingkat kompetensi
membaca untuk kelas 1, 2, 3 dan 5, sebab kelas 1 adalah momen dimana usaha yang
nyata mulai dilakukan, kelas 3 merupakan
tanda ditutupnya momen pertama dimana melek huruf menjadi minat dasar sedangkan
kurikulum lain tidak banyak menaruh perhatian
pada masa ini. Sedangkan kelas 5 adalah momen dimana sekolah dasar secara umum
telah berakhir dan tingkatan membaca dan
menulis harus dijangkau untuk memungkinkan siswa melanjutkan pendidikan
lanjutan/menengah.
Ada data terpecaya yang menunjukan bahwa
sekitar dua pertiga siswa yang keluar dari kelas 1 sudah mampu membaca
buku-buku gambar/prosa informative dan naratif serta buku-buku yang tergolong
rumit. Mereka juga memiliki perangkat yang dibutuhkan untuk meningkatkan
kompetensi yang dimiliki tanpa harus merasa stress dengan instruksi- instruksi
yang harus mereka jalani pada kelas 2 dan
3, hampir semua siswa mengalami
tingkat kemajuan yang cukup baik secara bertahap. Keluar kelas 3 sudah mampu membaca dengan benar, dan lulus SD
sudah mampu membaca tugas-tugas materi pembelajaran di SMP dan SMA. Namun, ada
cerita yang berbeda, sangat sedikit diantara mereka yang bsa pulih dan belajar
dari kegagalan yang diperbuat dan di kebanyakan sekolah dasar, ada sekitar 20
hingga 25 persen siswa sudah lulus namun hanya dapat membaca tak ubahnya dengan
kemampuan membaca siswa tahun ketiga atau tahun dibawahnya. Siswa-siswa jenis
ini adalah kebanyakan mereka yang sering mendapat ancaman drop out atau kemungkinan besar tidak lulus tepat waktu. Walaupun
ada banyak wanita yang menemui kesulitan dan masalah dalam membaca, sekitar
sepertiga pembaca yang “kesulitan” tersebut terdiri dari kaum pria. Beberapa
sekolah menengah pertama atau menengah atas memiliki staf khusus yang mengajar
“para pembaca pemula yang terlalu tua”. (Materi
yang diajarkan pada pembaca ini adalah isu yang akan lebih detail dijelaskan dalam
bagian selanjutnya). Kita akan mengajukan pertanyaan mengenai pengembangan
kurikulum model-model berganda dan multidimensional di kelas–kelas sekolah
dasar.
Gender,
status sosial ekonomi, dan etnis semuanya terlibat dalam masalah melek huruf
ini. Cobalah amati beberapa informasi dari penilaian kemajuan pendidikan
nasional yang berhasil mencapai kesuksesan dalam membaca, menulis dan kurikulum
inti lain. Dalam dua decade terakhir, Departemen Pendidikan di AS telah mencoba
menangani masalah pencapaian prestasi siswa dengan memberkan ujian-ujian yang berkaitan erat dengan
kurikulum inti, mengambil beberapa sampel siswa dari lima puluh negara yang berbeda, menganalisis data, mengembangkan laporan yang
menyediakan database luas yang dapat membantu kita memahami di mana posisi kita
dan bagaimana caranya agar kita bisa berkembang lebih cepat dan lebih baik.
Kita akan melihat sedikit penemuan yang berhasil mereka capai terkait dengan
isu-isu gender, status social ekonomi, dan etnis.
Sekarang
mari kita membahas model induktif kata bergambar (PWIM-Picture World Inductive
Model) dan merencanakan sebuah rangkaian pelajaran yang memakai kerangka pikir
Gagne. Perhatikan scenario dibawah ini:
Skenario
Siswa-siswa
bimbingan yang berusia 5 tahun di sekolah Hempshill
Hall Primary, tengah mempelajari kosakata dalam bacaan. Mereka juga memulai
pelajaran dengan mempelajari fonik, menganalisis struktur ejaan kata yang
mereka dengar ketika mengucapkannya dan membaca kosakata.
Siswa
pun mempelajari gambar. Tidak lama kemudian, Judith mempersilahkan mereka
mengatakan apa yang mereka ingin katakana di dalam kelas, hampir semua
mengangkat tangan namun Judith menunjuk Jessica.
Jessica
menunjuk gambar dan mengatakan “Inilah Ladder”
Judith menggambar garis kearah bawah dan menulis kata ladder dan kembali
mengucapkan kata tersebut “ladder”
ucapnya lagi. Dan murid-murid yang lain memperhatikan dan mendengarkannya.
“Ok,
sekarang saya akan mengejanya lagi dan kalian
semua mengikuti setelah saya” Judith kembali melakukannya dan meminta siswa
lain mengajukan kata yang berbeda.
“Sit”
ucap Bryan dan menunjuk pada teddy Bear “Teddy Bear is sitting”
Respons Spesifik
Judith
menulis kata “bear” dari kata “the bear’s sitting” dia mengeja masing-masing
kata saat menulisnya dan memberikan giliran
serta kesempatan pada siswa untuk mengucapkan, mengeja, dan mengulangi ejaan
kata tersebut di depannya. Dia langsung menunjuk pada kata pertama. “Apakah
kata ini?”
“ladder” murid berteriak
“Dan
jika kalian melihat kata tersebut namun
tidak bisa mengingatnya, apa yang akan kamu lakukan?”
“Mengikuti
garis pada gambar yang ditunjuk oleh kata ladder” jawab siswa
“Benar.
Dan apakah kata ini?” Judith menunjuk kata the
“The
bear’s sitting”
“Siapa
yang sepakat dengan ucapaannya?”
Mata Rantai
Menjelang
akhir sesi pelajaran, daftar kata dibawah ini dikumpulkan dan siswa bisa
mengucapkan masing-masing kata yang ditunjuk oleh Judith. Judith menyudahi sesi
dengan meminta siswa memerhatikan kata tertentu dalam buku yang akan mereka bawa pulang ke rumah dan
membacakannya pada orang tua mereka. Saat mereka keluar kelas, seorang anak yang
lebih tua dan telah merekam kata-kata tersebut dalam sebuah computer menyimpan
file dan memindahkannya dalam disket.
Pada
hari berikutnya saat siswa memasuki ruang kelas, beberapa diantara mereka
segera menghampiri kata dan melihat- melihat gambar, saling mengucapkan
masing-masing kata dan memberikan garis yang diarahkan kepada gambar untuk kata
yang tidak mereka ingat. Lagi-lagi mereka duduk di depan poster dan Judith
meminta mereka membaca kata-kata yang ada, menggunakan gambar untuk membantu
mereka menemukan referen masing-masing kata.
Diskriminasi Ganda
Judith
baru saja selesai mengambil file kata-kata yang dihubungkan dengan gambar,
menulisnya dengan font besar, mencetaknya dan membuat satu unit kata. Dia
memberikan satu unit pada masing-masing siswa kemudian dia meminta siswa
membaca seperangkat kata yang ada di tangan mereka, dan jika siswa tidak bisa
mengingat kata yang dimaksud maka mereka harus menghampiri poster menemukan kata dan mencari gambar yang merepresentasikan
kata tersebut.
Ada
beberapa aktivitas yang berlangsung. Siswa melihat kata, mengucapkannya, bahkan
berteriak sendiri. Kadang-kadang, mereka bertanya pada Judith, apakah mereka
benar, dan Judith pun mengarahkan mereka pada gambar untuk bisa memahami kata
dengan sendirinya. Segan, siswa bangkit dan turun, menggenggam kartu kata dan
meletakkan kata tersebut dalam diagram.
Menjelaskan
Diskriminasi Ganda
Judith
kemudian menanyakan kalimat yang mengilustrasikan gambar secara keseluruhan dan
mengucapkan kalimat tersebut dan mengucapkan kalimat “Teddy bear tengah duduk
di pinggiran kita” dan “ada banyak apel di tempat itu” seorang anak mengajukan
pertanyaan, menunjuk bagian apel tersebut dan bertanya “mengapa anda mengatakan
memakan apel?” “bisakah teddy duduk diatas apel?” Judith mencatat kalimat
tersebut dan semua siswa mengulang kalimat itu sebelum menutup pelajaran.
Klasifikasi
Pada
pagi berikutnya, Judith mereview kembali diagram poster beserta siswa-siswanya,
kemudian dia meminta siswa untuk mengeluarkan kata dan meletakkan kata-kata
terebut yang sesuai dengan bagaimana cara mengejanya.
Inilah
beberapa kategori yang mereka munculkan.
Jessica
mulai berbicara: “tree, trees dan ladder
memiliki dua huruf yang sama”
“Bagus!
Bisakah kamu menunjukan huruf-huruf itu? Jessica melakukannya. ”Apa ada yang
bisa melakukan hal yang sama dengan Jessica dan dengan alasan yang serupa?
apakah Nancy bisa?”
“Saya
meletakkan kata apple dan teddy bersama
karena ada yang pertama memiliki dua huruf p dan huruf d”
Brian
menambahkan “saya menempatkan teddy dan ladder secara bersama-sama sebab mereka
memiliki dua huruf d di bagian tengah”
“Coba
perhatikan apple dan apples” kata Judith, “bagaimana keduanya bisa sama dan
bisa berbeda?” ada beberapa siswa yang mengacungkan tangan namun Judith
menunjuk Dylan.
“keduanya
dieja sama selain pada s” Apple hanyalah
sebuah apel. Sedangkan apples adalah dua apel”
Penggunaan Aturan
Judith
bertanya “mengapa kata tree dan trunk bisa diletakkan bersama-sama?”.
Siswa-siswa bingung dalam beberapa menit, dan kemudian mulai ada yang
mengacungkan tangan. Judith menunggu hingga hampir semua siswa memiliki
gagasan, kemudian menunjuk Brendan “Barangkali karena tree dan trunk terdengar
sama di permulaan ucapan.” Mereka mendiskusikan jawaban Brenda kemudian Judith
menulis “bunyi yang sama”
Pada
akhirnya, siswa membaca seperangkat kata pada diagram secara berulang-ulang dan
mengakhiri pelajaran hari tersebut. Mereka juga diminta untuk melacak kata
dalam bacaan mereka pada saat malam hari.
Pemecahan Masalah
Judith
menggunakan strategi yang disebut model induktif kata bergambar (Bab 7).
Strategi ini adalah model untuk memunculkan kata dari apa yang didengar siswa
dan kosakata yang diucapkan sehingga kata-kata tersebut bisa dipelajari dan
dikuasai dan melalui klasifikasi, kata-kata tersebut kemudian bisa menjadi
dasar dari proses eksplorasi mengenai fonik. Akhirnya, pemecahan masalah dalam identifikasi kata dan pengembangan kosakata
adalah masalah siswa yang bisa dibantu penyelesaiannya oleh guru sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam Bab 20*
e. Membaca
Gambaran
umum yang diperoleh 25 tahun lalu berbeda dengan gambaran yang dipaparkan media
– bahwa melek huruf sudah rusak dan tidak bisa diharapkan lagi di kalangan
generasi muda, faktanya, dalam catatan antara 1971 hingga 1996 tetap
datar-datar saja. Skor yang diperoleh NAEP (National
assessment of Educational Progress) telah
berubah drastic pada siswa yang berumur 9, 13, dan 17 tahun.
Berita
buruknya adalah bahwa masyarakat dan system pendidikan selama 25 tahun yang
sama, sudah mencoba mengembangkan inisiatif untuk meningkatkan angka melek
huruf, namun indikasi prestasi dari penelitan yang dilakukan NAEP belum menunjukkan
adanya suatu perkembangan. (Di satu sisi, ada kurikulum yang digabungkan dengan
beberapa model pengajaran dan menghasilkan
perubahan luar biasa pada aspek melek huruf, sehingga kita bisa optimis,
seperti yang akan kita lihat nanti pada pengujian rata-rata pembaca pemula, (di
bagian selanjutnya dalam bab ini).
Senyatanya,
salah satu tujuan utama buku ini adalah menjadi buku yang bisa dipergunakan
oleh calon guru dan memberikan pengetahuan mengenai beberapa model pengajaran.
Dalam beberapa hal, buku ini dimaksudkan untuk membuat kurikulum yang akan
memberikan perubahan dalam dunia pendidikan yang berwujud peningkatan kapasitas
siswa dalam belajar.
Tim
NAEP telah berusaha mengembangkan level kompetensi siswa kelas 4, 8 dan 12.
Laporan mereka pada 1996 (Campbell, Donahuen Reesem dan Philips, 1996)
menyajikan penilaian-penilaian ini berdasarkan gender (lihat table 20.1).
Kategori–kategori kompetensi merupakan penilaian –penilaian kasar mengenai
apakah siswa mampu mengajari diri mereka sendiri untuk belajar membaca (mahir
dan terampil), apakah mereka dapat merespons dengan baik tugas – tugas membaca
dasar atau apakah mereka akan punya kesulitan dengan jenis-jenis membaca secara
umum yang digunakan dalam bidang – bidang kurikulum pada umur dan tingkat kelas
tertentu (Di bawah dasar). Dalam menginterpretasi data ini, ingatlah bahwa
jumlah siswa kelas dua belas adalah lebih kecil dibanding jumlah dari kelas
lain.
Gambaran-gambaran ini baiknya diinterpretasikan berdasarkan
tujuan-tujuan masa depan. Kita pastinya menginginkan semua siswa kita tanpa
terkecuali berada dalam level mahir (advance) atau paling tidak dalam level
cukup (proficient). Kita pun tahu bahwa hal itu sangat mungkin diwujudkan. Kita
memiliki cara, bahkan penelitian mengenai kurikulum dan pengajaran menunjukan
dengan jelas bahwa kita bisa berpindah level dengan cepat jika kita mengabdikan
diri untuk mencapai tujuan tersebut serta memanfaatkan segala perangkat dalam
mengajari siswa di level-level yang luar biasa.
Kelas Mahir Terampil Dasar Di Bawah Dasar
4 Pria 4 22 54 46
Wanita
6 28 64 36
8 Pria 1 1 63 37
Wanita
3 3 75 25
12
Pria 2 2 70 30
Wanita
4 4 80 20
Tabel 20.1 Persentase Tingkat Kemahiran membaca
menurut kelas dan gender (Campbell, Donahuen Reesem dan Philips, 1996)
Catatan
dari tabel tersebut menunjukan bahwa gender merupakan salah satu factor yang
menentukan berapa siswa yang gagal untuk bisa lulus dan melanjutkan ke jenjang
yang lebih. Semuanya hanya akan terjadi jika kita tidak bisa mengajar dengan
lebih baik. Di tengah-tengah kita, ada banyak guru yang sudah berhasil
menjangkau semua siswanya. Kita semua harus bisa menjangkau tingkat kemahiran mereka.
Selain
itu, kita harus bisa mengajar dengan sangat baik, dengan mengacukan status
social ekonomi siswa dalam proses pembelajaran. Di bawah ini juga merupakan
gambaran dari laporan NAEP. Semua kelas ternyata sama. Untuk lebih jelas dan
singkat, mari kita lihat kelas ke delapan. Data ini merupakan skor rata-rata
dalam uji coba NAEP berdasarkan tingkat pendidikan orang tua, yang berkaitan
erat dengan pendapatan keluarga.
Siswa-siswa yang satu
atau semua orang tuanya lulus dari universitas
|
270 siswa
|
Siswa-siswa yang satu
atau semua orang tuanya pernah
kuliah setelah lulus SMA (meski tak lulus)
|
266 siswa
|
Siswa-siswa yang
orang tuanya tidak lulus SMA
|
238 siswa
|
Siswa-siswa yang satu
atau semua orang tuanya lulus SMA
|
241 siswa
|
Rata
– rata gender dari tes terebut adalah
Pria 252 siswa
Wanita 267 siswa
Ada
perbedaan gender dalam setiap level pendidikan orang tua, tantanganya bagi kita tentunya menciptakan sekolah yang
kurikulum dan pengajarannya memberikan kesempatan yang merata pada semua siswa,
sehingga perbedaan-perbedaan ini dapat diminimalisir, bahkan bisa ditiadakan
sama sekali.
Perbedaan
etnis dan ras, biasanya – meski tidak seluruhnya – terkait dengan level
ekonomi, yang juga berkaitan dengan pendidikan orang tua siswa. Lihatlah data
yang telah dipilih berikut, dengan menggunakan skor rata-rata yang sama, juga
di kelas delapan:
Asia : 273 siswa
Kulit
Putih : 268 siswa
Bangsa
Spanyol : 240 siswa
Kulit
Hitam : 237 siswa
Ada
perbedaan yang cukup serius dalam data di atas. Rata-rata siswa Spanyol yang
berkulit hitam adalah 30 persen dari distribusi orang Asia dan kulit putih.
Penelitian
yang cukup serius mengenai orang miskin yang bermukim di wilayah perkotaan
meningkatkan permasalahan tertentu mengenai sekolah di wilayah itu yang juga
diperburuk dengan masalah perekrutan guru yang akan bekerja disekolah-sekolah
tersebut. Pada intinya, jika siswa tumbuh dalam lingkungan bertetangga yang
terdiri dari masyarakat dengan pendidikan yang rendah dan hanya ada sedikit
orang yang berpendidikan tinggi, maka sekolah harus bisa mengimbangi keadaan
dan latar belakang siswa. Sekolah seharusnya memahami bahwa siswa tersebut
berasal dari kultur kemiskinan yang cenderung
disudutkan secara minoritas. Keadaan umum negara kita menunjukan bahwa
ada sepertiga populasi di antara masyarakat kita yang dianggap sebagai
minoritas, dan seperempat di antara anak-anak yang ada di negara ini tumbuh di
bawah garis kemiskinan.
Perbedaan-perbedaan
ini terjadi di semua daerah dan negara. Negara-negara umumnya membedakan status
social, ekonomi, dan etnis (di Caliornia, siswa yang tergolong sebagai
minoritas lebih banyak dibandingkan siswa yang dikategorikan sebagai mayoritas).
Perbedaan-perbedaan ini tercermin dari gambaran penilaian untuk negara-negara
tersebut.
f. Menulis
Penelitian
NAEP mengenai pencapaian dalam hal menulis sejajar dengan penelitian mengenai
pencapaian dalam hal membaca, namun dua
penelitian tersebut memberikan informasi yang cukup menarik (Appleebe, dkk,
1990). Kompetensi dalam membaca memang dibutuhkan untuk bisa memiliki
kompetensi dalam menulis walaupun kompetensi dalam membaca tidaklah menjamin
kompetensi dalam menulis.
Gambaran
mengenai gender juga menunjukkan bahwa siswa wanita melebihi prestasi siswa
pria secara substansial (skor rata-rata untuk pria berkisar 35 % dari skor
prestasi siswa wanita pada kelas 4) dan perbedaan gender semakin melebar pada kelas 8 dan 12.
Skor rata-rata siswa wanita pada kelas 8
adalah diatas skor rata-rata siswa pria pada kelas 12.
Untuk
dua jenis kelamin ini, perkembangan kompetensi menulis agaknya sama-sama pelan.
Skor rata-rata pada kelas 8 hanya 62% dari distribusi kelas 4. Etnis, dalam hal
ini juga memainkan peran, meskipun tidak terlalu berpengaruh. Perbedaan antara
siswa yang orang tuanya lulus dari perguruan tinggi dan siswa yang orang tuanya
tidak tamat SMA kurang lebih sama sebagaimana perbedaan dalam hal gender.
Namun,
keadaan ini tidaklah selalu terjadi. Kurikulum dan pengajaran yang lebih baik
akan berpotensi meniadakan perbedaan gender dan menghilangkan kesenjangan dalam
latar belakang social dan ekonomi.
Menghilangkan
perbedaan bukanlah satu-satunya tujuan kita dalam bahasan kali ini. Penginkatan
prestasi yang merata bagi semua siswa juga merupakan tujuan paling utama. Data
dari Colorado menggambarkan poin berikut. Pada 1997, 32 % siswa wanita kelas 4
rata-rata dinilai “kurang memuaskan’ dalam hal menulis dibandingkan dengan pria
yang berjumlah sekitar 50 persen. Perbandingan bagi orang kulit putih adalah 41
%, 50 % bagi orang Amerika-Afrika, dan 43 % untuk orang Spanyol. Semua kategori
tersebut memunculkan permasalah yang cukup serius. Yang mengindikasikan kebutuhan
penting akan perbaikan sekolah di semua kategori siswa.
g. Kajian-Kajian
Sosial
NAEP
memusatkan perhatian dalam penelitiannya pada mata pelajaran sejarah dan
geografi, dan hasil yang mereka dapatkan dari dua bidang tersebut sama. Disini,
kita akan memusatkan perhatian pada bidang geografi. (Persky, Reese, O’Sullivan,Lazer,
Moore dan Shakran, 1990) sebab beberapa informasi tambahan dalam kajian
geografi bersinggungan dengan permasalahan gender.
Skor
total populasi secara keseluruhan pada kelas 4, 8 dan 12 sangatlah dekat satu
sama lain, namun lebih tinggi skor yang dimiliki siswa laki-laki (4 point pada
kelas 8 dengan jenis skala yang sama yang telah kami uji terlebih dahulu dalam
hal keterampilan menulis dan membaca). Perbedaan tersebut sangatlah menarik
sebab kemampuan membaca yang baik sangat berpotensi memberikan kemudahan dalam
semua mata pelajaran yang diujikan. Sebab itulah, perbedaan yang sebenarnya
dalam hal prestasi senyatanya lebih jauh dibanding skor yang mengindikasikan
hal tersebut. Skor untuk orang Spanyol sama secara gender, meskipun siswa
laki-laki kulit putih dan Afrika Amerika mendapatkan skor yang lebih baik.
Perbedaan siswa dalam level atas dan level bawah menurut pendidikan orang tua
berkisar pada poin 20 di setiap kelas. Rata-rata skor milik orang Amerika lebih
rendah 40 % dibanding rata-rata siswa kulit putih dan 10 poin lebih rendah dibandingkan
siswa Spanyol. Perbedaan ini jauh lebih lebar dibanding apa yang ditunjukan
dalam status sosial dan ekonomi, dan kita pun harus mempertimbangkan hal ini
saat ingin merencanakan untuk menciptakan kesetaraan.
h. Matematika dan
Ilmu Pengetahuan
Kami
akan memulai penjelasan dalam dua bidang ini dengan gambaran dari penilaian
nasional, namun kami harus memeriksanya kembali, sebagaimana kami menguji
beberapa isu gender. Skor rata-rata NAEP dalam bidang matematika yang muncul
dalam kurung waktu 1990 hingga 1996 (Reese, Miller, Mazzeo dan Dossey, 1997)
menunjukan bahwa perbedaan gender tidak lagi menjadi masalah serius, sebab rata-rata
prestasi siswa laki-laki seringkali lebih tinggi dari prestasi yang dicapai
siswa wanita). Perbedaan latar belakang social dan ekonomi hingga hari ini
masih menjadi hal yang masih diperhitungkan, dengan perbedaan sekitar 28 poin
antara level tertinggi dan level terendah menurut pendidikan orang tua dan 32
poin pada kelas 12. Rata-rata siswa yang berkulit putih pada kelas keempat
memiliki 32 poin lebih tinggi dibanding siswa kelas 4 di Afrika dan Amerika,
serta 26 poin lebih tinggi dari siswa Spanyol. Perbedaan etnis terus berlanjut
dan meluas pada tingkat kelas yang lebih tinggi.
Pada
tahun 1996, penilaian dalam bidang studi sains menunjukan bahwa perbedaan
gender adalah hal yang tidak penting, dengan nilai tertinggi skor skala 4 pada
kelas 12. Perbedaan social ekonomi yang juga mengindikasikan tingkat pendidikan
orang tua juga demikian nilai skor pada kelas 4, 23, pada kelas 8, 29, dan 26
pada kelas 12. Sekali lagi, skor siswa Asia dan kulit putih jauh lebih tinggi
disbanding sswa Afrika, Amerika dan Spanyol.
Etnis
juga merupakan factor yang mempengaruhi kesempatan memperoleh pendidikan.
Walaupun ada beberapa perbedaan etnis maupun rasial yang harus dijangkau
(Cooper dan Dorr, 1995), namun kesetaraan dalam kesempatan untuk
belajar/memperoleh pendidikan bisa memunculkan beberapa hambatan. Davenport,
Davison, Kuang, Dim, dan Kwak (1998) menguji siswa yang mendaftar dan memiliki
prestasi di atas rata-rata pada sekolah-sekolah besar di distrik. Pendaftaran
siswa pada jurusan Matematika didominasi oleh 100 % orang. Asia, 87,5 % orang
kulit putih, dan 51 % orang Afrika dan Amerika, serta 42 % orang Spanyol – dan
inilah persentase siswa yang berprestasi tinggi. Konseling, tentu saja, bisa
dan harus bisa meluruskan ketimpangan ini.
i.
Interpretasi
Dan Informasi Tambahan
Data
diatas jelas menunjukkan bahwa dalam suatu negara, kita tidak bisa benar-benar
menjangkau kesetaraan. Masih sangat jauh untuk mengidealkan hal yang demikian.
Beberapa orang beranggapan bahwa cita-cita untuk menciptakan keadaan yang sarat
dengan nilai-nilai persamaan dan kesetaraan adalah hal yang tidak mungkin. Ya,
kita akan membahas gagasan tersebut. Namun sebelumnya, kita harus percaya bahwa
kesetaraan secara utuh atau dalam level yang hampir mencapai hal tersebut
sebenarnya bisa kita wujudkan.
Marilah
kita amati beberapa kategori dan menyelidiki permasalahan ini lebih dalam.
1. Status Sosial
Ekonomi
Data
yang telah kami paparkan sebelumnya membenarkan apa yang terjadi pada beberapa
decade lalu bahwa perbedaan social dan ekonomi merupakan predictor kesuksesan
di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Sebuah penelitian popular mengenai prestasi
pendidikan (oleh Coleman, Campbell, Hobson, Mc Partland, Mood, Weinfield dan York,
1996 menyimpulkan bahwa pendidikan dan mata pencaharian orangtua sangatlah
mempengaruhi prestasi akademik.
Penilitan ini juga menyimpukan bahwa perbedaan kualitas sekolah tidaklah
terlalu berpengaruh juga dibandingkan dengan pendidikan dan mata pencaharian orang tua. Dengan kata lain,
mereka berpendapat bahwa prestasi pada masing-masing sekolah sangat mudah
diperkirakan, yakni hanya dengan melihat karakteristik orang tua, sehingga
sekolah yang memiliki prestasi rendah maupun tinggi tidaklah ditentukan dari
kualitas dan kondisi sekolah tersebut. Malahan, saat anak didik berubah, maka
prestasi pun akan berubah.
Walaupun
Tim Coleman mengukuhkan hasil penelitian mereka – ada beberapa sekolah yang
berhasil membuat suatu perbedaan (Brookover, Schwtezer, Schneider, Beady,
Flood, dan Wisenbaker, 1978) – tidak ada pertanyaan dan masalah bahwa
perbedaan-perbedaan sosial ekonomi berpengaruh pada respons terhadap
pendidikan. Selan itu, program Chapter I
yang besar-besaran dibuat pemerintah federal untuk memberikan sumber daya yang
memadai bagi sekolah – sekolah daerah dan mengembangkan pendidikan masyarakat
miskin ternyata gagal dengan menyedihkan. Dua penulis buku ini merupakan anggota
sebuah tim yang meneliti keberadaan sekolah di distrik-distrik urban. Kami
menemukan bahwa sekitar 70% siswa dalam distrik tersebut telah menerima dana
dari Chapter I. Siswa yang telah
memperoleh dana bantuan pada kelas satu tetap menapatkan dana tersebut hingga
kelas dua belas, sebab kekurangberuntungan mereka dalam pendidikan belumlah
“ditanggulangi” dengan baik.
Salah
satu permasalahan serius yang menghambat kelancaran beberapa program Chapter I yang diarahkan pada
siswa-siswa miskin adalah bahwa kondisi lemahnya prestasi yang dialami siswa
miskin sudah ada sejak lama, atau bahkan terlalu lama, sehingga mereka secara
interen seringkali di stereotipekan sebagai pembelajar yang buruk (miskin harta
dan miskin prestasi). Bahkan, mereka sendiri pun cederung memberi label kepada
dirinya sendiri dan meningkatkan sindrom kecacatan atau kekurangan yang ada
dalam dirinya, biasanya mereka akan menyerah sebelum bertanding (Urdan,
Midglev, dan Anderman, 1998). Pelabelan ini tidak hanya dipengaruhi publik
secara umum, namun juga para pendidik. Penelitian mengenai pengajaran dalam
program-program Chapter I menunjukan
bahwa dalam beberapa program tersebut, kurikulum berjalan dengan diperlambat,
dipermudah, dan dibuat sesederhana mungkin, dari pada menggunakan strategi-
strategi pengajaran yang menantang. Lebih parahnya lagi, kurikulum yang
dirancang sangat sulit untuk dimanfaatkan oleh siswa. Sebaliknya, dalam ilmu
kedokteran – kurikulum yang ketat dengan strategi pengajaran yang menantang
dapat meningkatkan kapasitas pembalajaran siswa. Program-program dalam
pendidikan khusus bagi siswa yang memiliki kemampuan minmal juga menghadapi
masalah serupa. Stereotype ‘LD’ menyeret kekayaan kurikulum dan instruksi untuk
mereka yang membutuhkan lingkungan yang berlimpah dengan kesempatan-kesempatan
untuk tumbuh dan belajar dengan memanfaatkan perangkat-perangkat pembelajaran.
Namun,
ada program-program pengembangan sekolah yang menggunakan model pengajaran
ampuh dan telah mampu menaikkan prestasi siswa yang berkemampuan rendah.
Program ini berhasil melakukan hal tersebut dalam waktu yang cukup singkat,
yakni dua tahun. (Becker dan Gerstenm 1982, Joyce, Murphy dkk, 1989’ Levin dan
Levin, 1990; Slavin, Madden, Karweit, Livermon dan Dolan, 1990; Wallace,
Lemahieu, dan Bickel, 1990). Untuk mendapatkan gambaran umum. Anda bisa merujuk
pada Joyce dan Calhoun, 1995, 1996). Lagi-lagi, pengajaran yang baik menunjukan
fungsinya sebagai solusi atas permasalahan dalam proses pembelajaran. Hal yang
demikian merupakan sebuah keniscayaan, sebab kegagalan dalam belajar dapat
menyisakan citra buruk seseorang sebagai “orang yang tidak bisa”. Citra
tersebut akan tetap bertahan dalam jangka waktu yang lama, dan hal ini akan
menyebabkan orang yang memiliki citra tersebut menjauhi segala kesempatan
pembelajaran yang ada dihadapannya maupun tantangan untuk menjadi dewasa.
Hal
ini berarti ia menciptakan ‘kuburan’ dan lingkaran kemiskinan dalam hidupnya
sendiri. Serangkaian kajian yang dilakukan oleh Cohen (1995, 1998) dan beberapa
rekannya telah menunjukan bahwa mengembangkan keseteraan adalah hal yang sangat
mungkin dilakukan. Mereka juga beranggapan bahwa sekolah sangatlah berpengaruh
terhadap interaksi yang menimbulkan citra diri lebih baik dan prestasi bagi seluruh
siswa secara merata. Walaupun program berorientasi pada anak-anak kecil pada
masa awal tidak begitu sukses sperti yang diharapkan, namun ada beberapa sampel
program yang dapat membuat perbedaan (lihat, misalanya, Campbell dan Ramey,
1995). Bagaimana mereka melakukannya akan kami bahas berkaitan dengan penelitian
mengenai model-model pelajaran tertentu.
Sayangnya, sangat sedikit sekolah di daerah-daerah yang mempersiapkan para
pendidiknya untuk menggunakan kurikulum dan strategi pengajaran yang memberikan
kesempatan yang sama bagi siswa-siswa miskin dan kita harus menyelesaikan
masalah tersebut. Selain itu, sekolah pun harus bisa menuntun masyarakat. Buku-buku
yang cukup absurd semisal The Bell Curve
(Herrnstein dan Murray, 1994) yang berpandangan bahwa orang miskin seringkali
merasa inferior d hadapan orang kaya, mengindikasikan bahwa sekolah memiliki
potensi yang sama seperti anak-anak kaya, namun sekolah tidak pernah belajar
menggunakan perangkat yang bisa menjangkau anak miskin tersebut, walaupun sebenarnya
perangkat dan sarana kearah tersebut sudah ada. Hanya tidak digunakan. Tulisan
editorial di New York Times memaparkan sedikit hal tentang The Bell Curve dengan kalimat “tumbuhan yang ditanam dalam kondisi
yang tidak ideal masih akan mengalami pertumbuhan dan ketinggian yang berbeda.
Namun, membenamkan separuh badan tanaman di lemari yang gelap akan mematikan
tanaman tersebut, sebab keadaannya ditentukan oleh lingkungan” (Editorial,
1994:16)
2. Etnis, Budaya,
dan Ras
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, Departemen Pendidikan sering mencampur-adukan wana
kulit, etnis, dan kategori lain dalam sebuah institusi hingga orang-orang dari
latar belakang yang berbeda bertemu dalam satu tempat dan satu waktu (misalnya
Latn, China, Jepang yang sama-sama berasal dari Asia). Oleh karena itu, kita
harus hati-hati saat kita sudah bisa menjangkau generalisasi tersebut. Pada
waktu yang sama, data prestasi yang telah kita diskusikan menggarisbawahi peran
penting yang dimainkan etnis dalam bentuk respons-respons terhadap system
pendidikan secara umum.
Sekolah
– sekolah Amerika merasa lebih nyaman dengan anak-anak yang datang dari
mainstream kebudayaan yang sudah ada, sebab ‘mainstream’ rakyat Amerika selalu
merasa lebih nyaman dengan orang yang memiliki latar belakang yang sama (hampir
semua masyarakat dunia mencatat adanya banyak perselisihan antar suku dan negara.
Selama
periode imigrasi besar-besaran dari eropa menuju Amerika, ada perselisihan yang
cukup besar antara mereka yang sedang menetap di Amerika dengan mereka yang
baru datang, walaupun negara Eropa memiliki elemen-elemen kebudayaan yang
beragam. Perbedaan bahasa tidak bisa ditolerir di sekolah-sekolah abad XIX
ataupun abad XX. Semboyan “pelajarilah bahasa inggris dengan cepat atau gagal”
merupakan sebuah kebijakan (anehnya pendatang yang mendiami perumahan
diperlakukan sedikit lebih baik. Pada tahun 1990, siswa yang mendaftar sekolah
rata-rata berusia 7 tahun. Separuh dari
siswa yang mendaftar belum berumur 7 tahun.
Di
Amerika, anak-anak Eropa dikumpulkan bersama etnis ghettos sehingga mereka bisa lancar berbahasa Inggris dan bisa
memasuki jenjang pendidikan ekonomi. Sekolah memberikan bantuan pada mereka
sehingga siswa bisa mendapat pelajaran Bahasa Inggris dengan baik. Namun,
sekolah ternyata masih bersikap kejam, banyak anak kecil yang menjalani hidup
mereka sebagaimana orang dewasa saat ini, malu dengan tempat asal mereka yang
telah memberikan kehidupan, cinta, dan asas kebudayaan yang banyak memberikan
makna social pada mereka.
Ok,
sejenak kita meninggalkan Afrika dan Amerika sebelum 1950, mayoritas imigran
berasal dari Eropa. Meski dalam jumlah yang kecil, imigran juga datang dari
China dan Jepang, dan banyak di antara mereka yang diekspor untuk menjadi
pekerja berat, semisal membuat jalan di Barat. Sedikit sekali anak-anak dari
pekerja berat ini yang memperoleh akses pendidikan saat mereka sampai di
Amerika. D. Cohen (1969) membuat analisis data New York City dimana dia membandingkan prestasi siswa imigran
dengan prestasi rata-rata siswa pribumi. Pertanyaan yang dia ajukan adalah “Apa
saja yang dilakukan siswa imigran pada tahun pertama mereka masuk sekolah di
Amerika Serikat” Inilah beberapa hasil penelitiannya, berdasarkan ukuran
rata-rata:
·
Imigran dari
British, yang telah mampu berbahasa Inggris dan berasal dari masyarakat yang
kulturnya hampir sama dengan masyarakat Amerika, memiliki prestasi yang sedikit
lebih rendah di bawah siswa yang berasal dari populasi Amerika asli,
·
Imigran
Irlandia, yang juga bisa berbahasa Inggris, memiliki prestasi yang jauh lebih
rendah dibawah masyarakat pribumi,
·
Rata-rata siswa
Skandinavia memiliki prestasi yang lumayan lebih tinggi daripada siswa imigran
lain,
·
Rata-rata
prestasi siswa imigran Italia sama dengan level prestasi siswa-siswa Irlandia,
·
Rata-rata prestasi
siswa imigran Jerman benar-benar bisa mengungguli prestasi populasi Amerika sendiri,
·
Rata-rata
prestasi siswa imigran Yahudi/Israel memiliki prestasi yang cukup tinggi,
·
Sedikit siswa
China dan Jepang yang bisa bersekolah dan mampu mencapai perguruan tinggi.
Barangkali, aspek yang paling menarik dari
penelitian tersebut adalah kecilnya peran yang dimainkan oleh bahasa asli (Inggris)
dalam menentukan prestasi kelompok-kelompok etnis. Selain itu, karena siswa
Inggris dan Irlandia mencapai prestasi yang sama tinggi, maka kita bisa membuat
hipotesis bahwa Bahasa Inggris sebagai bahasa pertama memberikan keuntungan
yang signifikan dalam proses imigrasi pada negara yang menjadikan Bahasa Inggris
sebagai bahasa nasional mereka. Masyarakat Yahudi Israel hampir semuanya sudah
melek huruf sejak 2000 tahun yang lalu sehingga imigran yang berasal dari
Yahudi baik dari Jerman, Rusia, maupun Polandia atau negara-negara lain yang
bahasanya bukan bahasa inggris, sangatlah berbeda dengan keadaan di Inggris,
meskipun orang tua anak-anak Inggris sudah melek huruf atau berada di
lingkungan yang sudah mahir baca tulis. Banyak orang tua imigran dari Italia
dan Spanyol yang tidak berpendidikan. Anak-anak dari imigran Asia memberikan
gambaran menarik yang berlanjut hingga hari ini. Walaupun bahasa Asia sangatlah
berbeda dengan bahasa Inggris, namun imigran Asia umumnya cepat mampu
menyesuaikan diri dan berhasil mempelajari Bahasa Amerika, terlepas dari banyak
prasangka buruk terhadap mereka.
Dewasa
ini, masalah perbedaan kebudayaan berada dalam masa kritis yang memiliki dua dimensi. Pertama, proporsi yang besar bagi
anak-anak Amerika yang baru saja berimigrasi dari tempat lain, khususnya dari negara-negara
Latin dan Asia. Sekolah tidak bisa menjangkau mereka semua dengan efektif, baik
dalam hal pencapaian prestasi maupun martabat kebudayaan. Kedua, dunia telah
berubah, dan kemakmuran suatu bangsa di masa yang akan datang bergantung pada
kemampuan untuk bercampur dengan bangsa lain secara produktif pada saat ini.
Perbedaan
etnis dan bahasa yang dibawa masing-masing siswa dan bercampur satu sama lain
akan membuat sekolah kita sebagai laboratrium yang kaya dan sempurna, yang
menampilkan dan menunjukkan bahwa perbedaan kebudayaan bukanlah suatu halangan
untuk memiliki prestasi atau martabat dan mempersiapkan anak-anak kita
menghadapi masyarakat global yang baru, baik secara individu maupun sosial. Di
California dan Texas, pada tahun 1998, nama yang diberikan pada anak laki-laki
yang baru lahir adalah Jose.
Kita
memiliki kurikulum dan teknologi instruksional yang bisa kita gunakan dan
dimanfaatkan jika kita memiliki kemauan.
3. Lebih Jauh
Tentang Gender
Perbandingan
prestasi yang dicapai oleh siswa pria dan wanita dalam studi-studi pembelajaran
siswa berskala luas membuka banyak hal yang menakjubkan dan
pertanyaan-pertanyaan serius terkait dengan pendidikan Amerika. Perbedaan
gender tidak banyak berpengaruh dalam studi social, ilmu pengetahuan, dan
matematika. Namun, dalam bidang baca – tulis inti, siswa laki-laki masih berada
di bawah rata-rata dalam hal melek huruf. Rata-rata ini tentu akan memengaruhi
jumlah siswa yang lulus dari perguruan tinggi serta jumlah siswa yang mendaftar
pada perguruan tinggi. Selama 20 tahun, kita bisa menantikan adanya masyarakat
yang berumur antara 25 hingga 40 tahun dalam suatu negara, yang 60 %dari mereka adalah wanita yang mampu lulus
dari perguruan tinggi dan mendapat kehidupan yang layak. Perbedaan gender dalam
aspek melek huruf memang harus diperhatikan, sebab permasalahan ini melampaui
level sosial ekonomi maupun level ras dan etnis.
Meski
demikian, siswa wanita tetap dirugikan utamanya dalam beberapa hal yang
memunculkan proses dikotomi dan hubungan antara kebudayaan, individu dan dunia
sekolah. Sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya siswa wanita yang
mendaftar di kelas pertama konsentrasi profesi terus menerus tersisih dan
berada dki belakang.
Pendidikan
merupakan bagian dari masyarakat. Hubungan antara kebudayaan dengan pendidikan
merupakan hal yang penting pada umumnya namun pada khususnya hubungan tersebut
semakin diperjelas dengan isu gender. Cobalah bayangkan kita sedang menjalani
proses semacam ini.
Bayangkanlah
bahwa masyarakat sebagai sekelompok guru dalam jumlah besar, senantiasa
mengilhami berbagai macam pemikiran nilai, gaya perilaku, dan termasuk juga
hubungan. Sejak kita lahir, masyarakat sudah mulai mentransmisi kebudayaan yang
ada secara terus menerus pada kita. Bahkan pada masa – masa perubahan social,
kebudayaan ada bersama kita dan kebudayaan tersebut telah berhasil mewarnai
serta memadukan perubahan.
Bayangkan
tentang keluarga sebagai guru yang handal, sebuah instrument pendidikan dalam
masyarakat yang juga mengajarkan beragam kebudayaan kepada putra-putrinya. Mengajari
bagaimana menjadi anak lelaki maupun anak wanita yang baik. Menanamkan
cara-cara berinteraksi dengan orang lain, menyalurkan aspirasi dan konsep diri
yang lemah dan kuat.
Bayangkan
juga sekolah sebagai agen social. Sekolah juga turut mengajarkan norma-norma
kultural dengan cara-cara tertentu dan juga memperkerjakan beberapa orang yang
telah memiliki pengalaman social yang memadai. Perpindahan kebudayaan pun akan
terus berlanjut selama kebudayaan tersebut masih didiami, diproses, dan
dipreaktikkan.
Pada
akhirnya bayangkanlah sebuah ruang kelas dimana mengajar merupakan tugas yang
telah ditetapkan.
Sekarang
andaikan ada kasus luar biasa dimana empat tingkatan yang kita bayangkan tadi
menjadi semacam fenomena yang tak terbayangkan. Para pekerja dengan penghasilan
yang rendah dengan tugas teknologi yang sangat rendah memiliki sedikit
kesempatan untuk belajar teknologi di tempat kerja mereka. Seperti di
rumah-rumah yang merefleksikan perbedaan -perbedaan ekonomis dalam bentuk
kesempatan-kesempatan teknologi yang ditawarkan kepada anak-anak. Sekolah yang
melayani beragam lapisan ekonomi membedakan anak mereka berdasarkan kemampuan
teknologi yang dimiliki. Apa yang terjadi? Orang kaya akan menjadi lebih kaya
dalam konteks teknologi.
Fenomena
ini tidak terlalu kelihatan. Contoh-contoh yang berkaitan dengan kesetaraan
gender cenderung lebih subtil dan elusif. Myra dan David Shaker melahirkan
sebuah karya apik yang membahas mengenai masalah ini (Sader dan Sadker, 1994) proses dan
kepustakaan mereka yang cukup kaya merupakan langkah awal yang baik dalam
menganalisis permasalahan ini.
Dalam
Level Sosial. Walaupun kita adalah
generasi umum yang memiliki pandangan umum bahwa pendidikan adala hak bagi
laki-laki dan perempuan, masyarakat masih mengajarkan perbedaan gender yang
terkait dengan dunia pendidikan. Misalnya, kebudayaan kita menggambarkan
laki-laki sebagai unggul dalam bidang matematika dan mesin, namun lemah dalam
bidang baca tulis, dan siswa perempuan adalah mereka yang kurang handal dalam
bidang matematika dan permesinan namun unggul dalam hal empati dan pengasuhan.
Beban dan anggapan social yang demikian masih saja dipertahankan meski sudah
banyak bukti yang menguatkan bahwa siswa laki-laki dan siswa perempuan memiliki
kapasitas yang sama dalam menguasai seluruh mata pelajaran yang diberikan di
sekolah. Dalam hal ini, media juga turut berpengaruh pada keberadaan insan
akademis, media cenderung menyangkutpautkan ilmuwan dengan siswa laki-laki
(Gerbner, 1995). Tidak hanya itu, media terkadang memberikan pemberitaan bahwa
ilmuwan adalah sosok yang menyeramkan dan kaku. Senyatanya, insan akademik
secara umum seringkali direpresentasikan sebagai ‘pelajar’ yang aneh. Namun di
sisi lain, program luar angkasa terkadang mengoreksi imej tersebut, khususnya
publisitas yang menyiarkan dan menghadirkan seorang astronot perempuan.
Tekanan
social meluas pada masalah-masalah kepribadian. Walaupun masyarakat berada
dalam sebuah iklim yang terus menerus berubah, laki-laki seringkali diajarkan
untuk menjadi orang yang terkemuka, menjadi pribadi yang baik dan memerintah,
sedangkan wanita cenderung mendapat pelajaran dan perintah untuk bersikap feminim
dan menarik.
Dalam Rumah.
Banyak keluarga yang menaati standar social. Kita bisa melihat hal ini dari
jenis-jeni karir yang ditawarkan oleh keluarga. Misalnya, sangat sedikit
keluarga yang menyarankan putrinya untuk mengambil konsentrasi sains, farmasi,
dan matematika. Mereka lebih menawarkan pilihan-pilihan ini pada anak lelaki
mereka. Dengan kata lain, saat siwa laki-laki dan siswa perempuan mulai masuk
dalam lingkungan sekolah, program-program social dengan sendirinya memperkecil
kemungkinan siswa perempuan untuk mengambil konsentrasi sains dan matematika.
Namun, keluarga di Asia sama-sama menawarkan pilihan tersebut pada putra dan
putri mereka. (Burkham, Lee dan Smerdon, 1997)
Dalam Sekolah,
selama beberapa tahun, siswa laki-laki memiliki kesempatan lebih banyak untuk
memilih konsentrasi sains dan matematika, meskipun prestasi siswa wanita juga
menunjukan bahwa mereka juga memiliki kualifikasi yang sama dengan laki-laki.
Perbedaan ini secara perlahan – lahan sudah semakin menyempit (Davenport, dkk
1998) kendatipun, ketidaksetaraan masih tidak bisa dihapus total. Yang jelas,
kebijakan sekolah dan adanya konseling yang diberikan guru haruslah saling
mendukung dengan pelajaran yang diterima siswa. Matematika adalah materi
gerbang pembuka yang berhubungan dengan sains, yang mempertimbangkan tidak
hanya pada aspek prestasi yang dicapai, namun juga pada pendaftaran ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Tobias (1993) merujuk sebuah penelitian mengenai
wanita yang mendaftar pada Universitas California di Berkeley. Dalam penelitian
tersebut disebutkan bahwa semua wanita yang mendaftar di sana memiliki prestasi
yang tinggi dan layak untuk diakui. Tanpa empat tahun belajar matematika
sekalipun, siswa-siswi yang diterima masuk di jurusan matematika beralih pada
kimia atau fisika. Mereka yang termasuk dalam golongan ini tidak diuntungkan
secara statistik dan ekonomis. Oleh karena mereka tidak bisa belajar materi
yang diinginkan tersebut, maka mereka tidak berhak memilih 10 dari 12 perguruan
tinggi dan 22 dari 24 universitas yang ditawarkan. Saat laki-laki dan perempuan
diminta untuk mengambil semua jurusan matematika dan sains dalam studi di Australia Barat, perbedaan gender
dalam hal prestasi tidak muncul (prestasi siswa perempuan tidak jarang
melampaui siswa laki-laki) (Parker dan Offer, 1987)
Dalam Ruang Kelas misalnya,
saat kita ingin mengajarkan pelajaran matematika dan sains, isu penting yang
muncul adalah apakah pelajaran tersebut akan dilaksanakan dengan modal
penelitian ilmiah dan bagaimana kelas dikondisikan dengan model tersebut (Burkham,
Lee dan Smerdon, 1997; Staver, 1989). Model yang digunakan tidak hanya akan
berpengaruh pada prestasi, namun juga pada konsep diri akademik. Sader dan
Sadker (1994) menegaskan bahwa di sekolah dasar, 31 % siswa perempuan sekolah
merasa dirinya handal dalam bidang matematika, dan hanya ada 18 % siswa
perempuan sekolah menengah yang merasakan hal demikian. Kelas yang berorientasi
pada penelitian aktif, dengan pengalaman – pengalaman laboratorium, hadir untuk
meningkatkan pembelajaran bagi semua siswa dan juga mengembangkan gaya yang
dapat mereduksi perbedaan-perbedaan demografis (kategorial) bagi semua siswa.
Termasuk juga perbedaan gender. Perbedaan gender adalah hal yang paling
mencolok saat suatu pelajaran diajarkan dalam format “kapur tulis dan bicara”
bahkan dalam pelajaran-pelajaran yang paling dominan dengan
pengalaman-pengalaman laboratorium pun, para siswa juga bisa menjadi tidak
setara (Jocanovic dan King, 1998).
Namun,
ruang kelas juga dapat menciptakan kesetaraan gender dengan cepat, walaupun ada
perbedaan yang sangat besar saat pelajaran dimulai (Kahle, 1985; Kleiin 1985;
Weiss, 1978). Yang terpenting apa yang dipelajari sebagai masalah kognitif
(Maccoby dan Jacklin, 1974) tidak lagi muncul dari sudut pandang penelitian pendidikan
(Linn dan Hyde, 1989).
Perbedaan-
perbedaan gender dalam hal melek huruf masih sangat besar, perbedaan tersebut
terus diterima oleh mayarakat sebagai hal yang wajar. Mereka umumnya beranggapan bahwa hal yang demikian
disebabkan perbedaan genetic. Namun, perbedaan ini tidak akan terjadi pada
pengajaran membaca jika strategi yang diterapkan mampun menanggulangi hal
tersebut.
Kita
tidak akan mengatakan bahwa orang dewasa dan orang sudah beranjak dewasa tidak
memiliki waktu yang tepat untuk belajar, seperti halnya dengan siswa muda yang
masih harus belajar beberapa istilah dan mengamati kehidupan nyata serta
perbedaan biologis mereka yang terkadang menakjubkan. Namun anggapan kami tidak
demikian. Anggapan kami lebih kepada bahwa perbedaan gender bukan berarti dapat
mencegah proses pembelajaran.
Dalam
sistem pendidikan ruang kelas yang unggul, setiap orang bisa menang, pangajaran
yang baik adalah kuncinya. Intinya, sekolah haru menciptakan nuansa kebudayaan
semacan ini.
2. Kesempatan
Pendidikan
Ya,
kita sangat beruntung memiliki kesempatan untuk mengajar. Panorama kemanusiaan
yang kaya mempertemukan kita dengan siswa-siswa kita di sekolah. Kita
dianugrahi siswa-siswi yang memiliki warna yang berbeda dan memperlihatkan
kebudayaan yang melimpah serta perbedaan individu di antara mereka. Kita pun
dianugrahi kesempatan berharga untuk menunjukan banyak hal kepada mereka,
seperti ilmu pengetahuan, sebuah globe yang memperkecil semua kebudayaan dalam
satu dunia yang dapat direngkuh dalam satu jangkauan. Kita berada dalam satu negara
yang berperan sebagai pembuat kebijakan politik yang bebas memberikan keputusan
apapun. Kita memiliki media yang luar biasa bagus dan dapat kita jangkau serta
perpustakaan yang memudahkan proses pembelajaran.
Kekayaan
yang kita miliki memudahkan kita mengajar dengan memanfaatkan keberagaman
manusia dan memperkaya masyarakat kita. Teknik pengajaran kita yang cukup
memadai memudahkan kita untuk mengjangkau semua siswa dan memastikan bahwa mereka
telah mendapat pendidikan yang semestinya. Kita bisa menerapkan berbagai cara
dalam bekerja dan beraktivitas serta merancang dan membangun kehidupan yang
berkualitas.
“Pasrah pada sesuatu adalah bagian
tersulit dalam Pertumbuhan, baik secara social maupun individu”
Bagian
yang paling sulit dari perjuangnan kita adalah memberikan gagasan bahwa
perbedaan gender, ekonomi, kebudayaan, dan rasial merupakan factor yang
menentukan potensi pendidikan. Semua yang disebut itu akan benar-benar menjadi
factor penentu hanya jika kita membuatnya demikian. Model pengajaran yang
handal menjangkau semua siswa dan menciptakan arena permainan yang lebih banyak
sebab model tersebut mengajarkan pada
siswa bagaimana belajar yang fleksibel dan adaptif untuk mengakomodir perbedaan- perbedaan
secara produktif sembari memanfaatkan perbedaan tersebut. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita terbiasa mendengar bahwa “bertamasya memperluas wawasan”. Ucapan
tersebut benar adanya sebab anda akan menjumpai kebudayaan-kebudayaan yang lain
dan menemukan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu, anda akan tahu bahwa
hanya ada satu jenis manusia di muka bumi ini.
a. Warna Kulit dan
Etnis
Prasangka
rasial merupakan bagian ideology masyarakat kita selama beberapa tahun, dan
inferioritas dalam hal intelektualitas telah lama disandingkan pada orang-orang
yang memiliki warna kulit tertentu, yang juga bagian dari prasangka buruk
tersebut. Review mengagumkan yang ditulis oleh Prof. Jim Banks dari universitas
Washington melakukan pelacakan pada studi-studi yang dilakukan oleh para ahli
psikologis yang telah mengkaji ras dan kemampuan akademik (Banks, 1995)
walaupun hampir semua ahli ilmu social menolak dugaan bahwa aspek ras adalah
hal yang menentukan intelegensi, namun dugaan ini sudah sangat berakar kuat di
dalam masyarakat. Walaupun pencapaian-pencapaian luar biasa telah dicapai oleh
orang-orang dari beragam warna kulit dan kemajuan ekonomi telah dibuat oleh
masyarakatnya yang terdiri dari beragam warna kulit menunjukan bahwa prasangka
semacam itu tidak tepat dan tidak beralasan. Dalam masyarakat, masalah ini
justru semakin tampak dengan munculnya kenyataan bahwa orang dengan warna kulit
tertentu adalah mereka yang miskin secara ekonomi.
Kenyataannya,
ras tidak bisa memperkirakan prestasi dan kemampuan akademik. Namun pendidikan
yang baiklah yang dapat mempertimbangkan hal tersebut. Program-program sama
yang dikutip pada bagian sebelumnya juga menunjukan bahwa dengan kurikulum dan
pengajaran yanag baik serta iklim social yang positif, perbedaan rasil dalam
pencapaian prestasi akademik akan menyusut sangat drastis. Kita sudah punya
teknologi. Kita hanya tinggal menggunakannya saja. Namun masalahnya memang
rumit, karena semuanya kembali pada apa yang akan kita lihat dalam scenario
yang merangkum bab ini.
Skenario
Rodney
kecil hidup di tengah keluarga yang sebagian besar anggotanya tidak mengeyam
pendidikan. Namun mereka, sangat berharap Rodney bisa memperoleh pendidikan
hingga jenjang yang paling tinggi. Pada usia tiga belas tahun, Rodney sudah mulai
bekerja sepulang sekolah dan mengumpulkan uang dengan harapan ia bisa membiayai
kuliahnya sendiri. Rodney adalah warga negara Amerika kulit hitam. Dia sangat
percaya diri, sopan, tekun, bertanggungjawab, hemat dan suka menabung serta
memiliki tujuan hidup.
Sekolah
tempat ia belajar mencoba mengirimkannya masuk ke sekolah kejuruan dan tidak
menawarinya sekolah yang berbau akademik. Konselor yang membimbingnya adalah
seorang wanita kulit putih yang berpandangan cukup kaku khususnya kepada mereka
yang melanjutkan kuliah dan kepada mereka yang tidak. Dia beranggapan bahwa
Rodney memiliki bakat di bidang penjualan dan pertokoan. Bakat tersebut adalah
hal yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Awalnya,
Rodney berusaha memecahkan dan memikirkan masalah tersebut seorang diri, dia
menjelaskan bahwa ia mendapat nilai akademik yang baik, bahwa dia tidak hanya
mahir dan cakap saat bekerja di toko dan bahwa ia maupun keluarganya telah
menyiapkan uang untuk biaya kuliahnya di perguruan tinggi. Namun, konselornya
tidak bergeming “perguruan tinggi bukanlah untuk semua orang” Rodney pun tidak
mau kalah, selain bekerja diluar dunia akademik, dia juga mulai memahami bahwa
memiliki nilai yang baik adalah hal yang berharga dalam hidupnya.
Karena
keluarganya adalah oang yang tidak terpelajar, mereka akhirnya merasa tidak
mampu untuk membuat Rodney melanjutkan sekolah. Namun ada seorang tetangga
kulit hitam yang bernama Crozier dan tertarik pada perjuangan Rodney. Dia juga
memiliki anak yang seumuran Rodney dan sedang tumbuh dan walaupun tugas-tugas
akademik yang meumpuk dia tetap memiliki hasrat untuk melanjutkan kuliahnya.
Crozier pun berupaya membantu Rodney dengan mengutarakan keinginannya ke warga
kulit putih dan masyarakat kampus. Dia pun berupaya meyakinkan orang-orang
kulit putih dengan mengutarakan alasan-alasan logis yang intinya adalah
memberikan Rodney kesempatan untuk kuliah. Rodney pun mendapat kesempatan untuk
mendapat pelajaran tembahan di sebuah tempat bernama bimbel X sehingga dia bisa
memiliki nilai akademik yang semakin tinggi dan terus mecari kerja untuk
mengumpulkan uang agar kelak ia bisa kuliah. (Halbertam, 1998:379-380).
Pertempuran Pun
Berlanjut
Suatu
penelitian terakhir menunjukan bahwa derajaat generasi mutakhir seperti Rodney
membutuhkan advokasi yakni usaha penyetaraan dari sekolah dan distrik mereka.
Penelitian tersebut melihat siswa yang memiliki skor CTBS tinggi dan apakah
mereka telah mendaftar di jurusan matematika. Hasilnya adalah sebanyak 51 % kulit hitam, 42% siswa Spanyol, 88% siswa
kulit putih, dan 100% siswa asal Asia telah mendaftar di jurusan matematika.
(Thorson, 2002)
Model-model
pengajaran memang buta terhadap warna kulit, gender, etnis dan status social
ekonomi. Namun system social tidak buta. Meski demikian, system semacam ini
harus diperbaiki oleh system pendidikan kita.
B. Mengatasi Masalah
Secara Langsung Dengan Model-model Pengajaran
Baik
kajian-kajian yang dilaporkan oleh NAEP, kajian-kajian oleh depertmen
pendidikan nasional dan provinsi, ataupun sekadar informasi yang tersedia di
distrik – distrik sekolah, gambarannya sebenarnya sama, sekitar sepertiga siswa
kita tidak dapat menjangkau tingkat kompetensi yang dibutuhkan untuk mendidik
diri mereka sendiri dengan mengakses sumber-sumber pembelajaran yang digunakan
di sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi. Lebih jauh, situasi
tersebut menjadi lebih buruk bagi bebrapa siswa saat kompetensi mereka
tertinggal dengan siswa-siswa lain seumurannya.
Akibatnya,
hampir semua sekolah menghadapi situasi dimana siswa kelas 4 hingga 12 masih
merupakan pembaca pemula. Para guru di sekolah tersebut hanya memilki
karakteristik skill dan pengetahuan
mengenai siswa tingkat awal atau tingkat menengah. Dalam beberapa hal
intervensi yang dilakukan guru pada tingkat pendidikan prasekolah, taman
kanak-kanak, dan sekolah dasar telah
mengurangi jumlah tersebut (lik. Slavin, Madden, Dolan dan Wasik, 1996; Pinnel
dkk 1994)
1. Perspektif
Penelitian
mengenai metode pengajaran membaca sangat penting dan meletakkan dasar atas
suatu kurikulum yang bisa kita jadikan teori akan menghasilkan perbedaan yang
cukup signifikan. Kendati begitu, karena kurikulum- kurikulum ini tidak dibuat
berdasarkan sepaket materi yang bisa ditiru hanya dengan sedikit latihan.
Menerapkan kurikulum- kurikulum semacam ini mensyaratkan pengembangan staff
yang berorientasi pada penelitian karena keberhasilan penerapan kurikulum ini
juga ditentukan oleh upaya pengembangan repertoar dari para guru. Staff harus mempelajari pemelitian, memperoleh
strategi baru dalam pengejaran, dan mengamati siswa yang tengah belajar dalam
aturan formatif maupun sumatif.
2. Kurikulum Second Chance Untuk Belajar Membaca
Di
beberapa review (Calhoun, 1997;Joyce
1999 dan Shower, Joyce, Scanlon dan Schaubett,1998) kami berpendapat bahwa
kurikulum multidimensi yang berisi beberapa komponen berikut ini berpotensi
untuk bisa membantu para pemula untuk mempercepat pertumbuhan mereka dalam baca
tulis, memperoleh penghargaan diri yang telah hilang, dan menjangkau kesuksesan
akademik serta kemampuan mengajar diri sendiri melalui membaca dan menulis.
Komponen-komponen tersebut meliputi:
·
Pengembangan
kosakata atau kata kata yang telah diperoleh dari mendengar atau berbicara
melalui model induktif kata bergambar (Calhoun 1997) atau pendekatan merekam
pengalaman (Staufer, 1969) dan pembelajaran kata yang dilakukan melalui
pembacaan ekstensif (Nagy dan Anderson, 1984),
·
Pembacaan
ekstensif pada tingkat yang telah berkembang (Duke dan Pearson, tanpa tahun),
·
Pembelajaran
mengenai pola pola kata yang mencakup pengejaan (Ehri, 1999),
·
Aktivitas
menulis secara regular (beberapa kali dalam sehari) dan pembelajaran mengenai
tulis menulis (Englert, Raphael, Anderson, Anthony, dan Stevens, 1991),
·
Pembelajaran
mengenai strategi-strategi pemahaman (Garner, 1987; Pressley 1995).
Pembelajaran
yang dilakukan baik oleh guru maupun siswa, mengenai tingkat kemajuan tiap
minggu dan tiap bulan, yang meliputi tingkatan-tingkatan buku yang dibaca
siswa, tingakatan kata-kata yang dipelajari, tingkatan keterampilan analitis
fonetik dan structural, tinkatan informasi dan tingkatan kemahiran dalam
menulis (Calhourn, 1999).
Kurikulum
Kesempatan Kedua (The Second Chance Curriculum) membutuhkan
waktu sekitar sembilan puluh menit tiap hari. Utnuk siswa-siswa sekolah maupun
perguruan tinggi waktu 90 menit tersebut diperuntukan untuk mengganti
materi-materi pelajaran yang bersifat pilihan dan eksploratif. Lama waktu
pendaftaran mungkin akan sangat beragam. Gap antara kompetensi yang dimiliki
siswa saat pendaftraan dan level yang dibutuhkan dalam mengatur sumber daya
pembelajaran yang bersifat kelas bisa jadi sangat penting. Oleh sebab itulah
pendaftaran harus diselenggarakan awal tahun dengan jaan
3. Metode
Penelitian/Sumber Kata
Di
Northern Lihts School District, kurikulum Kesempatan
Kedua dipadukan dengan program-program inisiatif lain yang sudah ada.
Semuanya dilaksanakan dalam kerangka referensi penelitian yang menempatkan guru
dan administrator untuk melaksanakan penelitian dan pengajaran pada siswa. 20
sekolah di distrik tersebut memiliki populasi siswa yang cukup bervariasi dalam
hal SES dan etnis. Baik pendapat guru maupun penilaian provinsi mengindikasikan
bahwa distrik tersebut berciri khas bangsa Amerika utara sekitar sepertiga
siswa ada pada pembaca pemula.
Komponen-
komponen program tersebut mensyaratkan adanya pengembangan staff untuk kemudian
dilibatkan dalam kurikulum dan pola-pola
pengajaran yang berbasis penelitian. Beberapa komponen ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan siswa di semua kelas sedangkan komponen yang lain dirancang untuk
kelas-kelas tertentu dan anak yang berkebutuhan khusus. Komonen-komponen
tersebut adalah:
·
Just
Read,
sebuah program distrik yang dirancang
untuk meningkatkan kemampuan membaca
mandiri anan siswa. Khsususnya membaca di rumah (Joyce dan Wolf, 1996)
alasannya adalah karena siswa harus dibiasakan membaca secara luas untuk
memperkuat skill yang dimiliki,
·
Primary
Currilucum, (K-3), guru mempelajari dan mulai
menerapkan beberapa strategi, khususnya model induktif kata bergambar (Calhoun,
1999; Joyca dan Calhoun, 1998) yang dirancang untuk meningkatkan kosa kata,
mengembangkan analisis fonetik structural dan mengembangkan strategi- strategi
pemahaman,
·
Early
Literacy Tutorial. Focus intervensi ini adalah siswa-siswa
di kelas kelask sekolah dasar yang tidak mendapat pelajaran membaca dari
kurikulum utama. Staf mempelajari beberapa strategi dasar untuk bisa mengajar
langkah-langkah awal dalam membaca,
·
Second
Chance, meruoakan upaya penyelamatan kedua. Materi dalam
bahasan kita kali ini.
Kajian
ini melibatkan 12 sesi dengan 300 siswa pada Light School di bagian Amerika
Utara. Para guru program kesempatan kedua
mengikuti proses pengembangan staff selama 10 hingga 15 hari untuk
mempelajari implementasi kurikulum tersebut dan pertumbuhan siswa berdasarkan
ukuran–ukuran yang meliputi ujian-ujian standar (tes Ketrampilan Dasar Kanada)
atau ujian pendaftaran Gates-Mc Ginnitie. 20 sekolah di distrik ini memiliki
populasi yang sangat beragam baik dalam hal etnis maupun SES.
Dalam
laporan ini, ujian-ujian standar merupakan sumber data utama yang ditafsirkan
berdasarkan pertama, karakteristik –
karakteristik siswa dan kedua kemajuan-kemajuan
yang mereka peroleh. Data yang lengkap sudah tersedia untuk 20 siswa dalam 12
sesi tadi. Untuk setiap siswa, indikasi - indikasi latar belakang pembelajaran
dihitung dengan menyediakan perkiraan-perkiraan tentang kemajuan siswa yang
dibandingkan dengan rata-rata siswa.
Semua
siswa memiliki pencapaian yang cukup substansial dalam subtes. Kosakata, subtes
pemahaman atau dua subtes Canada Tests of
Basic Skills. Di kelas ini hanya di 3 siswi perempuan, sebab itulah ada
perbedaan gender yang cukup besar dalam pendaftaran, namun tidak ada pengaruh
pembelajaran.
Selama
setengah tahun ini, pemerolehan siswa dua kali lebih besar dari pada
pemerolehan rata-rata siswa tahun sebelumnya dan delapan kali lebih besar
daripada pemerolehan tahunan rata-rata sebelumnya. Bagi sebagian besar siswa
ini, tahun ini merupakan tahun dimana mereka mendapatkan skor diatas rata-rata
sepanjang mereka sekolah, setidaknya dari perspektif skor-ujian.
Hasil Bukti Berdasarkan
Karakteristik Siswa Yang Mendaftar
Setiap
sekolah telah mengatur mengatur identifikasi dan registrasi siswa. Hasil dari Read to Succeed mencerminkan perbedaan-
perbedaan dalam proses yang dijalankan di sekolah, khususnya
prioritas-prioritas yang muncul. Di semua sekolah, ada lebih banyak pembaca
pemula yang sudah terlalu tua dibandingkan mereka yang memang waktunya belajar
membaca. Pihak sekolah dan administrator dalam hal ini harus memutuskan siapa
yang akan diluluskan dalam pendaftaran. Ada 250 orang yang berarti sekitar 10%
dari seluruh siswa di distrik tersebut merupakan siswa kelas 4 hingga 9. Dari
keseluruhan jumlah siswa ini, berikut gambaran besarnya:
·
Gender: dua
pertiganya adalah laki-laki. Beberapa sesi justru secara virtual tampak terdiri
dari laki-laki saja dan beberapa sesi lain hanya relatif sedikit,
·
Dianggap memiliki
kebutuhan khusus 70 %. 54 siswa memiliki ketidakmampuan belajar yang serius dalam
presentase 30 % dan 57 lainnya memiliki masalah komunikasi juga dalam
presentase 30 %,
·
Skor - skor
tes-tes standar. 46 % dari siswa-siswa sekolah dasar yang telah dites berada
dibawah rata-rata siswa kelas dua yang telah lulus.
Lalu
bagaimana dengan kemajuan mereka?
·
Keseluruhan : 56
% dari pemerolehan skor mengindikasikan kemajuan mulai dari satu atau setengah
kali lebih banyak dari pemerolehan rata-rata siswa hingga tiga kali pemerolehan
rata-rata siswa dan hanya 18 % pemerolehan yang telah dicapai sama dengan
rata-rata siswa ini (kurang lebih dua hingga empat kali lebih besar dari rating
kemajuan sebelumnya),
·
Gender: kemajuan
yang didapat oleh laki-laki dan perempuan secara keseluruhan hampir sama,
·
Sesi-sesi sekolah
dasar dan sekolah menengah juga membuat pemerolehan hampir sama. Tingkatan
kelas siswa dalam setiap sesi bukan merupakan factor penghambat,
·
Skor – skor
untuk setiap entri juga bukan menjadi factor penghambat. Siswa -siswa yang
memulai pada angka 1, 3, 4 dan seterusnya mendapat pemerolehan yang sama.
·
Siswa-siswa
berkebutuhan.secara keseluruhan, pertumbuhan siswa yang memiliki atau tidak
memiliki kebutuhan khsus bisa dikatakan sama di semua kelas.
·
SES siswa juga
bukan merupakan faktor penghalang.
4. Membuat
Kurikulum
Yang
terpenting adalah bahwa penelitian mengenai kurikulum untuk para pembaca (siswa)
pemula yang sudah terlalu tua dapat
mencapai satu tujuan yang didalamnya kita dapat merancang kurikulum yang dapat
menjangkau siswa-siswa ini dan memberikan mereka kesempatan untuk tumbuh
berkembang pada rating yang normal atau lebih baik. Kajian-kajian lebih lanjut
diharapkan akan mengkaji siswa yang memiliki respons dan perkembangan akademik
yang rendah dalam rangka memperbaiki dan mengembangkan kerangka kerja
kurikulum. Yang juga penting adalah
penelitian lanjutan ini, dimana guru dan administrator di sekolah distrik dapat
memohon beasiswa untuk membentuk komunitas peneliti, harus hadir sebagai suatu
penelitian yang dapat dan mudah diterapkan oleh para guru, khususnya di
lingkungan Northern Lights.
a. Suasana –
Suasana Pembelajaran
Merencanakan
kurikulum, kursus, unit, dan pelajaran merupakan sine qua non pengajaran yang baik. Dalam bab ini kita akan
mempelajari cara merancang kurikulum dari gagasan seorang guru lalu mencoba
mengaplikasikan kerangka kerjanya pada berbagai masalah yang muncul dalam
merencanangkan pengajaran.
Salah
satu buku penting yang membahas mengenai pengajaran dan pembelajaran adalah Condition of Learning (1965) karya
Robert N. Gagne. Gagne melakukan analisis dengan cermat mengenai
variabel-variabel penting dalam proses pembelajaran serta cara-cara mengatur
pengajaran untuk memperhitungkan variabel- variabel tersebut.
1. Keragaman
Performa
Gagne
mengklasifikasikan performa-performa siswa ke dalam 6 jenis pembelajaran:
a.
Respons spesifik
Adalah
tindakan membuat respons khusus sebuah stimulus tertentu. Misalnuya, ketika
seorang guru kelas satu memegang dan memperlihatkan kartu yang bertuliskan anjing (stimulus) maka siswa akan mengatakan ‘anjing’ (sebagai respons). Respons
spesifik merupakan jenis pembelajaran yang sangat amat penting dan dasar dari
seberapa banyak informasi yang kit miliki. Agar siswa bisa memberikan respons
yang tepat dan benar, kita hjarus berasumsi bahwa sisw memiliki kemampuan untuk
membuat hubungan hubungan antara beberapa hal.
b.
Mata rantai
Adalah
proses membuat rangkaian atau urutan respons yang dihubungkan satu sama lain.
Gagne menggunakan contoh, seperti membuka sebuah pintu dengan kunci dan
menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain. Membuka pintu dengan menggunakan
sebuah kunci mengharuskan kita melakukan beberapa respons khusus (memilih
kunci, memasukannya ke dalam pintu, dan memutarnya untuk membuka pintu).
c.
Diskriminasi
ganda
Digunakan
untuk mempelajari beragam respons dan mata rantai tertentu, serta untuk
mempelajari cara memilih respons dan mata rantai dengan tepat. Diskriminasi
diterapkan pada respons-repons yang dipelajari, seorang siswa belajar
menghubungkan warna dengan nama mereka berdasarkan situasi-situasi yang sama,
semisal belajar mengidentifikasi warna-warna dari objek yang berbeda dalam
ruangan khusus, misalnya di ruang kelas sekolah atau di rumah seseorang.
d.
Klasifikasi
Adalah
menetapkan objek-objek pada kelas-kelas yang menunjuk pada, misalnya fungsi.
Belajar membedakan tumbuhan dengan binatang atau mobil dengan sepeda harus
melibatkan proses klasifikasi ini. Hasil proses ini adalah konsep serta gagasan
yang menggambarkan dan membenturkan beberapa nhal dan kejadian atau
menggambarkan hubungan sebab akibat diantara beberapa hal tersebut.
e.
Penggunaan
aturan
Adalah
kemampuan untuk bertindak dengan beracuan pada sebuah konsep yang kemudian
melahirkan tindakan. Misalkan saja, dalam pelajaran mengeja, kita mempelajari
berbagai konsep yang menggambarkan cara-cara mengeja kata. Kemudian, kita
mengaplikasikan konsep ini dalam bentuk aturan yang termuat dalam tindakan
mengeja itu sendiri.
Pada
akhirnya, pemecahan masalah adalah
aplikasi aturan-aturan pada masalah yang tidak pernah dihadapi sebelumnya oleh
pembelajar. Langkah ini melibatkan aktivitas memilih aturan yang baik dan
mengaplikasikannya dalam sebuah kombinasi yang cukup sempurna. Misalnya,
seorang anak kecil belajar beberapa atuan tentang bagaimana menyeimbangkan
papan jungkat, maka dia kemudian mengaplikasikan aturan-aturan tersebut untuk
memindah barang yang berat dengan cungkit.
Jenis
performa
|
Model-model
|
|||
Respon
khusus
|
Menghafal
|
Berfikir
induktif
|
Tahap
pertama dalam pencapaian konsep
|
Advance
investigasi organizer kelompok (aktivitas kumpulkan data)
|
Mata
rantai
|
Penemuan
konsep
|
Berfikir
induktif
|
|
|
Diskriminasi
ganda
|
Latihan
penelitian
|
|
|
|
Klasifikasi
|
Penemuan
konsep
|
Befikikir
induktif
|
|
Advance
investigasi organizer
|
Penggunaan
aturan
|
Latihan
penelitian
|
Simulasi
|
Berfikir
induktif
|
|
Pemecahan
masalah
|
Sintetik
ilmiah
|
Berfikir
penelitian
|
Latihan
kelompok
|
|
Table 2: Model-model yang sesuai
untuk performa-performa yang beragam
Ya.
Agaknya seserang harus memulai dari level yang paling rumit (pemecahan
masalah), kemudian menentukan apa yang harus dipelajari untuk menentukan proses
pemecahan masalah.
2. Memfasilitasi Kelas
Pembelajaran
Gagne
yakin bahwa enak konsep pembelajaran diatas akan membentuk semacam tahapan
secara hierarkis. Sebab itulah, sebelum seseorang membuat mata rantai, ia
haruslah mempelajari respons-respons khusus. Diskriminasi ganda membutuhkan proses belajar yang cukup intensif
mengenai beberapa mata rantai. Sedangkan
klasifikasi dapat membangun diskriminasi ganda. Sedangkan
aturan-aturan untuk diterapkan adalah bentuk-bentuk konsep yang dipelajari
melalui klasifikasi dan penguatan hubungan sebab akibat. Sedang pemecahan masalah membutuhkan
aturan-aturan yang dipelajar sebelumnya.
Untuk
memfasilitasi respon khusus, sebuah stimulus hendaknya disajikan pada siswa
dalam kondisi-kondisi yang dapat menarik perhatian siswa dan membujuk mereka
memberikan sebuah respons yang berkaitan erat dengan penyajian stimulus tadi.
Lalu, respons tersebut diperkuat. Guru mungkin saja akan memperlihatkan tulisan
anjing dan mengatakan ‘anjing’
meminta siswa mengucapkan kata yang sama, tersenyum, kemudian memuji siswa.
Guru terus menerus memancing siswa untuk bisa belajar mengenali kata dan bisa
mengeluarkan suara yang sama dengan symbol yang ditunjukkan. Model-model,
seperti hafalan dan latihan, merupakan pendekatan – pendekatan yang dapat
memfasilitasi respons khusus ini.
Untuk
memfasilitasi pemerolehan mata rantai (chaining),
sebuah rangkaian isyarat hendaknya ditawarkan dan respons-respons yang relevan
haruslah dirangsang kehadirannya. Seorang guru bahasa mungkin akan mengatakan ‘how
are you?’ kemudian diikuti dengan berkata ‘como esta Usted?’ yang melibatkan
siswa untuk mengatakan hal yang sama seperti tersebut.
Untuk
memfasilitasi diskriminasi ganda (multiple
discrimination) praktik dengan stimulus yang benar atau tidak benar
dibutuhkan, sehingga siswa bisa belajar membuat diskriminasi. Model advance organizer dan model induktif
dalam hal ini penting untuk membantu proses tersebut.
Klasifikasi
(classifying) diajarkan dengan
menyajian beberapa eksemplar buku yang berbeda serta beberapa konsep yang juga
beragam. Sehingga perlahan-lahan siswa bisa mempelajari dasar-dasar konsep
untuk membedakannya satu sama lain.
Penggunaan
aturan (rule using) dapat difasilitasi dengan merangsang siswa untuk kembali
memerhatikan sebuah konsep kemudian mengaplikasikannya dalam beberapa kondisi
tertentu yang juga berbeda.
Pemecahan
masalah (problem solving) umumnya
dilakukan oleh siswa sendiri, sebab situasi dan permasalahan yang ada biasanya
rumit dan unik. Fase ini bisa bisa difasilitasi dengan menyediakan sebuah
masalah yang bisa dipecahkan khususnya ketika instruktur tahu bahwa siswa telah
memperoleh aturan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.
3. Tugas-tugas Instruktur
Gagne
menekankan bahwa aktivitas pembelajar sendirilah yang menjadi dan menentukan
hasil suatu proses pembelajaran. Fungis instruktur disini adalah menyediakan
kondisi-kondisi yang akan menambah kemungkinan siswa memiliki performa yang
khusus dan berciri khas. Kami sangat setuju dengan gagasan Gagne pada poin ini.
Instruktur (atau mingkin sistem-sistem instruksional) harus menjalankan tugas
instruksional seperti berikut ini:
a.
Memberitahu siswa
sasaran-sasaran pembelajaran
b.
Menyajikan
stimulus
c.
Meningkatkan
perhatian siswa
d.
Membantu siswa
kembali mengamati dan mengingat apa yang telah dipelajari
e.
Menyediakan
keadaan-keadaan yang membangkitkan performa siswa
f.
Menentukan
rangkaian pembelajaran
g.
Mendorong dan
membimbing pembelajaran
Selain
itu, instruktur juga mendorong siswa untuk menggeneralisasi apa yang telah
dipelajarinya sehingga konsep dan skill baru yang telah dipelajari dapat
ditransfer pada situasi lain.
Memberitahukan
pada siswa mengenai sasaran-sasaran pembelajaran sangat penting dalam rangka
menunjukan tujuan utama sebuah proses. Misalnya, guru alan berkata. ‘hari ini
kita akan mempelajari 3 presiden Amerika Serikat. Kita akan memperlajari
nama-namanya, dimana mereka tinggal danhal-hal apa sajakah yang paling identik
dan penting tentang mereka yang perlu diketahui’ guru kemudian menyajikan nama
Washington, Lincoln, dan Theodore Roosevelt.
Untku
mengingat pelajaran yang telah lalu guru mungkin akan berkata ‘ingatkah kalian
bahwa kita pernah mendiskusikan bagaimana beberapa Negara tumbuh dan berkembang
serta berubah? Bisakah kalian menjelaskan pada kami beberapa perubahan ini?’
siswa akan berupaya untuk mengingat kembali
dan menstimulasi diri mereka sendiri dengan materi yang mungkin
berkaitan dengan presiden yang dibahas pada pertemuan tersebut.
Banyak
sesi-sesi pengajaran bergantung pada jenis pembelajaran dan materi pelajaran
yang ditanyakan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa menyajikan stimulus,
memunculkan perhatian, membantu pembelajar memahami sasaran, membangkitkan
performa kemudian membanatu pembelajar menggeneralisasi adalah tugas-tugas
instruksional utama, yang secara alamiah diikuti oleh instruksi – instruksi
lain.
Paradigma
Gagne mengingatkan kita pada beberapa prinsip umum yang penting dalam
pengajaran: menginformasikan pembelajar tentang tingkatan sasaran – sasaran
yang berusaha diwujudkan, menganjurkan generalisasi dan mendorong aplikasi atau
semacam penerapan atas apa yang telah dipelajari!
Gagne
menekankan bahwa kita tidak bisa mengontrol semua proses pengajaran, namun kita
hanya bisa meningkatkan kemungkinan bahwa jenis-jenis perilaku akan muncul.
Kita bisa menyajikan stimulus yang berkaitan erat dengan orang lain dan meminta
siswa menampilkan performanya. Kendati begitu, haruslah pembelajar yang
menciptakan hubungan antara kata yang dicetak/ditulis dan kata yang diucapkan,
bukan guru.
Dari
poin ini, sebuah model pengajaran membawa semacam struktur yang dapat mengubah
kemungkinan bahwa siswa akan mempelajari hal-hal tertentu. Struktur pengajaran
menyajikan tugas pada siswa. Respons-respons guru mendorong siswa memberikan
respons-respons tertentu, dan system social mengembangkan kebutuhan bagi jenis
interaksi dengan orang lain. Dalam table 21.1 beberapa model memproses
informasi dan beberapa dari kelompok model pengajaran lain digabungkan dengan
enam ragam performa yang telah diidentifikasi Gagne.
Hirarki
yang diciptakan Gagne penting membantu kita memilih model yang sesuai untuk
beragam sasaran pendidikan. Hirarki tersetbu juga mengingatkan kita tentang
beberapa jenis pembelajaran yang dipopulerkan oleh model personal dan juga
perhatian yang harus diberikan pada performa-performa siswa saat siswa tengah
berperan aktif dalam proses belajar mengenai topik-topik yang cukup penting.
5. Merencanakan Pelajaran:
Pendidikan Global
Mari
kita lihat apa yang akan terjadi saat kita menerapkan hirarki yang dibuat oleh
Gagne. Mari merancang sebuah kurikulum pendidikan global yang dapat diterapkan
pada sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Misalnya, kita membuat sebuah
kurikulum yang cukup rumit yang akan memberikan kita kesempatan untuk
memikirkan jangkauan beberapa model, dan tentu saja, kita juga berkeinginan
untuk menggunakan beberapa di antara model tersebut dalam merancang aspek
instruksional semisal kurikulum.
Kita
akan mulai dengan pernyataan yang agak ‘sewenang-wenang’ mengenai seluruh
sasaran kita. Ingatlah bahwa kita memulai dari sasaran – sasaran pada level
pemecahan masalah, sebab hal itu akan membimbing kita dalam menyeleksi sasaran
pada level Hirarki Gagne. Kesalahan umum yang harus dihindari dalam perencanaan
adalah memulai pada tingkat respons dan kemudian mencoba ‘menghimpit’
jenis-jenis pembelajaran yang lebih kompleks dari respons-respons tersebut.
a. Sasaran Keseluruhan
Kurikulum-
Kurikulum social kami berupaya memastikan bahwa siswa memiliki pengetahuan
tentang geografi, bias berpikir tentang beberapa isu penting yang dihadapi
manusia di seluruh belahan dunia dan telah siap beinteraksi secara produktif
dengan orang dari kultur yang sama maupun berbeda. Alasan kami sebenarnya adalah bahwa cara
pandang global sangat penting bagi pemehaman pribadi demi memimpin bangsa,
menciptakan dunia yang lebih baik, dan menghasilkan potensi ekonomi. Pada satu
level, kita ingin siswa kita lulus dengan berbekal pelajaran yang akan memudahkan
mereka memutar globe, meletakan jari di atas dunia dan mengetahui informasi
penting mengenai sebuah Negara.
Sasaran
keseluruhan kedua adalah menerapkan kajian mengenai globe sebgai lanjutan
kurikulum membaca dan menulis, khususnya membaca dan menulis prosa yang
ekspositorif (sasaran ini muncul di seluruh bidang kurikulum)
b. Membangun Sasaran
Sasaran Operasional
Beberapa
model pengajaran bias membantu kita mengklarifikasi sasaran – sasaran kita dan
mentransformasikannya menjadi tujuan yang kita rencanakan.
c. Kompleksitas
Integratif, Perkembangan, Kognitif, Dan Konsep Diri
Mari
kita ulai dengan model yang menyoroti perbedaan individu, memahami globe dan
kebudayaan dunia yang bermacam-macam akan membutuhkan kompleksias kepaduan
level tinggi, khususnya saat siswa tengah berusaha mengembangkan pandangan
mengenai masalah yang cukup yang rumit.
Kerangka
dalam mempelajari pengembangan kognitif membantu kita berpikir mengenai
jenis-jenis sasaran yang sesuai untuk usia-usia yang berbeda. Siswa yang paling
kecil mungkin bias menyerap informasi tentang satu atau dua kebudayaan, namun
mereka akan menemui kesulitan untuk memikirkan hal-hal abstrak dalam kebudayaan
tersebut. Siswa sekolah dasar yang berada di kelas yang lebih tinggi bisa
memanipulasi data demografis mengenai Negara-negara di dunia dan bisa mencari
korelasi diantarra beberapa variabel, misalnya belajar bertanya apakah
kemakmuran suatu Negara berhubungan dengan level pendidikan, kesuburan, dan
lain lain. Mereka bisa membandingkan beberapa kebudayaan dengan mengambil satu
atau dua variabel yang konkret dan nyata, misalnya perumahan, lapangan
pekerjaan, gaya keluarga dan lain-lain.
Studi
mengenai konsep diri cukup membantu kita dalam beberapa hal. Pertama, orientasi umum mengingatkan
kita pada keseluruhan kurikulum yang harus disampaikan utuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam mempelajari dan menguasai materi yang cukup rumit. Kedua, konsep diri menegaskan bahwa
pemahaman diri tetaplah merupakan hal yang sangat penting. Memahami dunia secara
praktis dapat membantu pemahaman diri, sebab pemahaman diri membantu siswa
dalam memikirkan kebudayaannya sendiri serta menghubungkannya dengan kebudayaan
lain dan mencoba memahamai bagaimana nilai kebudayaan dapat mempengaruhi
pemikiran dan tingkah laku.
Mari
kita juga memikirkan hal ini dari sudut pandang kelompok- kelompok model
pengajaran:
1. Tindakan
Kooperatif dan Saling Memahami.
Kelompok
model pengajaran social (social family) menawarkan cara pandang dalam membentuk
sebuah komunitas pembelajar kooperatif dan membantu komunitas tersebut
mengeksplorasikan dunia secara bersama-sama serta memunculkan
pertanyaan-pertanyaan tentang nilai. Bermain peran menawarkan sebuah perangkat
untuk membantu siswa mempelajari nilai mereka sendiri sebagai kemajuan dan
perkembangan dalam sebuah penelitaian.
2. Mempelajari
Informasi Dan Konsep Membuat dan Menguji Hipotesis
Model
pengajaran memproses informasi, menempatkan disposisi kita pada seperangkat
instrumen yang relevan. Pengembangan konsep tersebut akan dibutuhkan untuk
mengakses informasi yang cukup banyak
dan berpikir mengenai hubungan-hubungan akan memunculkan banyak hipotesis untuk
diuji oleh mahasiswa.
3.
Aktualisasi
Diri dan Arahan Diri
Jika
penggagas model-model personal memiliki cara mereka sendiri, maka kita akan memiliki
banyak kesempatan untuk melakukan penelitian arahan diri dan kita akan memiliki
banyak kesempatan untuk melakukan dan arahan diri dan kita akan mendorong siswa
kita untuk tidak hanya mengikuti minat-minat yang datang tiba-tiba atau bekerja
pada tingkat perkembangannya saat ini, namun juga untuk memperluas minat-minat
tersebut kedalam bidang-bidang baru dan menuju pola-pola belajar yang terbaik.
Kita akan menjadikan perasaan mereka sebagai bagian dari materi pelajaran dan
akan selalu berpandangan bahwa ilmu pengetahuan adalah konstruki personal.
1 comments:
Maaf ini sumber dari makalh ini mn yha..?
Post a Comment